Thursday, June 5, 2014

RIDHA

June 05, 2014

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّه
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.  (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)

Suatu ketika Nabi Musa a.s. berdo’a kepada Allah SWT., “Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang mana pabila aku melakukannya maka Engkau meridhaiku karenanya”. Kemudian Allah SWT. menjawab, “Sesungguhnya kau tidak akan mampu melakukannya”. Lantas Musa as tersungkur sujud kepada Allah SWT., merendahkan diri di hadapan-Nya. Serta merta Allah SWT. mewahyukan kepadanya, “Wahai putra Imran, sesungguhnya keridhaan-Ku ada pada keridhaanmu terhadap ketentuan-Ku”.
Sungguh “romantis” sekali perbincangan antara seorang manusia mulia dengan Kekasih sejatinya. Ia rela melakukan apapun agar Allah SWT., satu-satunya Dzat yang dicintai, meridhainya. Seorang manusia yang begitu shalih, tutur kata dan akhlaknya tertata, seorang Nabi yang begitu sabar menghadapi tingkah laku ummatnya yang seringkali membangkang, seorang Nabi yang memiliki keteguhan hati, sehingga Allah SWT., Sang Kekasih, memberinya gelar ulil ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati).
Dari cuplikan kisah diatas, kita dapat melihat betapa seorang hamba yang telah sangat dekat kepada Tuhannya ingin diridhai oleh-Nya. Namun ada beberapa hal yang perlu kita teliti, kaji, dan cermati, yakni, apa itu ridha? Bagaimana kita ridha terhadap ketentuan-Nya? Dan bagaimana pula Allah SWT. ridha terhadap kita? Apakah ridha bisa diusahakan atau sebatas kedudukan seorang hamba secara spontanitas dan tidak bisa diusahakan?
Allah SWT. berfirman dalam kitab suci al-Qur’an,
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة, التوبة, المجادلة, البينة)
Allah SWT. meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya
Kalau dalam bahasa santri, kata sambung عن (‘an) memiliki makna lilmujaawazah, untuk melewati. Singkatnya, makna radhiyallaahu ‘anhum pada ayat tersebut adalah “Allah SWT. meridhai mereka, tidak menyiksa mereka” (tarkul muaakhadzah). Allah SWT. melewati mereka dari siksaan (makna sengaja dari melewatkan). Sedangkan maksud dari wa radhuu ‘anhu adalah “mereka ridha pada-Nya, tidak protes terhadap-Nya, terhadap segala ketentuan-Nya” (tarkul i’tiraadh).
Ketika Allah SWT. telah ridha kepada hamba-Nya, maka apapun yang hamba-Nya perbuat akan “dibiarkan” oleh Allah SWT.. Allah SWT. tidak akan menyiksanya. Malaikat penjaga neraka pun tidak merasa tersiksa di neraka karena telah mendapatkan ridha dari Allah SWT., Sang Penguasa. Demikian halnya ketika seorang hamba telah ridha kepada Allah SWT., maka ia tidak akan “protes” atau melawan terhadap apapun yang telah menjadi suratan-Nya di lauh mahfizh sana. Ia akan merasa puas dan menerima pada vonis-Nya.
Untuk mendapat ridha dari Allah SWT. tentu seorang hamba mesti ridha terlebih dahulu terhadap segala ketentuannya, begitulah syariat berkata. Lantas bagaimana memanifestasikan ridha? Dimana pula posisinya dalam diri seorang hamba?
Berbicara tentang ridha, para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukannya dalam hati setiap hamba. Ulama Khurasan  berpandangan bahwa ridha merupakan maqamaat, suatu peringkat yang bisa dicapai dan diusahakan. Jadi sah-sah saja ketika kita mengucapkan “kamu harus ridha!” karena ridha bisa diusahakan. Menurut mereka pula, ridha merupakan titik kulminasi dari tawakkal. Berbeda dengan Ulama Irak. Mereka  berpendapat bahwasannya ridha adalah sebagian dari komponen ahwal, artinya tidak dapat diusahakan melainkan mengejawantah dalam hati seorang hamba dengan sendirinya. Dalam pada itu, kedua pendapat tersebut bisa diintegrasikan menjadi suatu pemahaman bahwa “permulaan ridha bisa diusahakan oleh setiap hamba, dan ini termasuk maqamaat. Adapun puncak dari ridha termasuk posisi ahwal, tidak bisa diusahakan”.
Dalam memanifestasikan ridha, setiap orang memiliki refleksi dan penyerapan yang berbeda-beda lantaran pemahaman mengenai ridha pun beragam adanya. Abu ‘Ali ad-Daqqaq berkata,
ليس الرضاء أن لا تحس بالبلاء, إنما الرضاء أن لا تعترض على الحكم والقضاء
Sungguh indah penuturan tersebut. Menurutnya, ridha bukan berarti tidak merasa akan balai, cobaan, dan ujian. Melainkan ridha berarti tidak protes atau komplain terhadap vonis dan ketentuan Allah SWT.. Jadi, ia berpandangan bahwa seseorang dikatakan ridha ketika ia tidak protes atau komplain terhadap vonis dan ketentuan Allah SWT., meskipun terasa tidak enak. Sakit memang sakit, tetapi tetap menerima terhadap apapun ketentuan-Nya. Senang boleh senang, tapi harus sadar bahwa itu merupakan ketentuan Allah SWT. dan menerima dengan penuh rasa penghambaan. Karena memang hanya milik Allah SWT. lah segala vonis dan ketentuan dan hanya milik Allah SWT. lah segala puji.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyyah yang merefleksikan keridhaannya sampai tidak merasa apapun kecuali kesenangan dan ketenangan. Ini terpancar dari sikap bathin melalui perkataan bijaknya,
سجني خلوة و تغريبي سياحة و قتلي شهادة
Penjaraku adalah menyendiri dengan Tuhan, pengasinganku adalah rekreasi, dan pembunuhanku adalah mati syahid. Saat ia dipenjara, ia memanfaatkan momen tersebut untuk berkhalwat dengan Allah SWT. Kala ia diinternir, ia merasa hanya sedang berekreasi. Begitupun ketika nyawanya terancam dan akan dibunuh, dengan penuh optimistis ia menganggapnya sebagai jalan untuk mati syahid. Perkataannya mengindikasikan bahwa ia merasakan semua hal yang menjadi cobaannya di dunia menjadi nikmat tak terkira. Inilah cara Ibnu Taimiyyah. Tak ada beda antara nikmat dan sengsara, melainkan segalanya terasa nikmat baginya. Dunia ini bak syurga baginya. Sehingga ia berpandangan bahwa seseorang tidak akan merasakan nikmatnya syurga akhirat sebelum merasakan syurga dunia. Lantaran, mengutip perkataan Adnin Armas, pandangan eskatologis adalah inheren dalam benak seorang muslim tatkala melakoni hidup. Dunia tidak dapat diceraikan dari akhirat.
Pandangan terhadap sikap Ibnu Taimiyyah pada dasarnya adalah penyerapan dan refleksi Ibnu Taimiyyah terhadap ridha. Belum dikatakan ridha sebelum segalanya terasa nikmat. Tetapi Abu ‘Ali ad-Daqqaq berbeda. Tidak perlu sampai merasa semuanya nikmat, yang penting tidak protes dan komplain terhadap ketentuan dan vonis Allah SWT. meskipun terasa berat dan menyakitkan.
Masih banyak figur-figur ulama yang menggambarkan keridhaan kepada Allah SWT. dengan redaksi-redaksi yang berbeda. Tetapi, dua contoh manifestasi ridha tersebut dapat memberikan gambaran secara komprehensif bagaimana seorang hamba seharusnya menyikapi hal-hal yang berbeda dari sikap bathin masing-masing hamba. Semuanya tergantung cara masing-masing dalam memanifestasikan ridha kepada Allah SWT.
Perlu diperhatikan bahwa seseorang diwajibkan untuk ridha hanya bagi hal-hal yang memang diwajibkan untuk meridhainya, karena tidak semua ketentuan Allah SWT. boleh atau wajib diridhai oleh seorang hamba. Ada beberapa hal yang mana hamba tidak boleh meridhainya, yakni maksiat dan berbagai bencana kaum muslimin. Maksiat dan bencana apapun merupakan ketentuan Allah SWT., tetapi kita tidak boleh ridha karenanya. Misalnya ketika seseorang berbuat zina, kemudian ia merasa, “ya Allah SWT., aku ridha terhadap ketentuan-Mu yang ini”, itu tidak dibolehkan. Melainkan ketika terjerumus terhadap suatu kemaksiatan atau terjadi bencana terhadap kaum muslimin kita harus merasa bingung dan geram, mengapa hal ini terjadi. Hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang diterima dari Abu Umamah r.a., bahwasannya seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu iman?”. Rasulullah saw menjawab, “Apabila kebaikanmu membuatmu senang dan keburukanmu membuatmu geram, maka kamu adalah seorang yang beriman” (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi). Jadi, cara mendapatkan keridhaan Allah SWT. adalah dengan ridha terhadap segala vonis dan ketentuan-Nya.
Kewajiban ridha terhadap apapun ketentuan Allah SWT., selain yang dilarang untuk ridha, adalah perihal syariat. Artinya jika berhenti di sini, maka perjalanan kita hanya sampai pada ranah syariat, sedangkan untuk sampai pada Allah SWT. kita harus sadar bahwa pada hakikatnya apapun yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Ketika kita “merasa” sudah bisa atau berusaha untuk ridha, sesuai dengan yang telah ditentukan, kita tidak boleh titik sampai di sana. Perjalanan kita harus dilanjutkan pada ranah hakikat. Kita tidak boleh merasa bahwa ridhanya kita adalah hasil dari kemampuan kita, karena kehendak kita, bukan semata rekayasa Allah SWT. Tuhan Semesta.
Pada hakikatnya, Allah SWT. lah yang mengatur segalanya. Karenanya, seorang hamba tidak akan bisa ridha terhadap Allah SWT. sebelum Allah SWT. ridha terlebih dahulu kepadanya. Sebagaimana dalam ayat yang disebutkan sebelumnya, رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ “Allah SWT. ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”. Jadi, pada hakikatnya, ridhanya seorang hamba merupakan indikator dari ridhanya Allah SWT. kepadanya. Sekali lagi, ini merupakan langkah selanjutnya, yakni kesadaran diri bahwa ketika seorang hamba telah bisa atau berusaha ridha, pada hakikatnya Allah SWT. lah yang terlebih dahulu ridha terhadapnya. Dengan demikian hamba tersebut tidak akan menyandarkan diri kepada amalnya termasuk ridha. Karena syariat adalah tuntutan dan larangan, sedangkan hakikat adala sikap bathin dalam menyadari rekayasa Allah SWT. terhadap segala sesuatu. Allah SWT. membuat seorang hamba taat begitupun membuatnya maksiat, inilah hakikat. Tetapi Allah SWT. memerintahkan untuk taat dan melarang maksiat, inilah syariat.
Terakhir, ada sebuah kisah yang dituturkan oleh Abu ‘Ali ad-Daqqaq. Seorang murid bertanya kepada gurunya, “Apakah seorang hamba dapat mengetahui bahwa Allah SWT. ridha kepadanya?” Sang guru menjawab, “Tidak. Bagaimana mungkin ia bisa tahu sedangkan ridha-Nya ghaib (abstrak)?”. “Tapi menurutku bisa saja ia tahu”, sanggah sang murid. “Bagaimana?”, tanya sang guru. Lantas sang murid menjawab, “Manakala aku mendapati hatiku ridha terhadap ketentuan-Nya maka aku pun tahu bahwa sebenarnya Allah SWT. ridha kepadaku”. Sang guru berakta, “Bagus, nak”. Begitupun ketika seorang hamba merasa aral dan tidak ridha terhadap ketentuan Allah SWT., sebenarnya Allah SWT. sedang tidak ridha padanya.
Wallaahu a’lam.


Hanif Rahmat

Santri PPUII
Statistika/FMIPA/UII

Thanks for reading RIDHA

Related Posts

Your Comments

1 comment:

  1. DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
    BONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
    BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
    BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
    Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
    Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.net
    UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
    WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^

    ReplyDelete

Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger