جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا
أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّه
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka
ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida
kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)
Suatu ketika Nabi Musa a.s. berdo’a
kepada Allah SWT., “Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang mana
pabila aku melakukannya maka Engkau meridhaiku karenanya”. Kemudian Allah
SWT. menjawab, “Sesungguhnya kau tidak akan mampu melakukannya”. Lantas Musa as
tersungkur sujud kepada Allah SWT., merendahkan diri di hadapan-Nya. Serta
merta Allah SWT. mewahyukan kepadanya, “Wahai putra Imran, sesungguhnya keridhaan-Ku
ada pada keridhaanmu terhadap ketentuan-Ku”.
Sungguh “romantis” sekali perbincangan
antara seorang manusia mulia dengan Kekasih sejatinya. Ia rela melakukan apapun
agar Allah SWT., satu-satunya Dzat yang dicintai, meridhainya. Seorang
manusia yang begitu shalih, tutur kata dan akhlaknya tertata, seorang Nabi yang
begitu sabar menghadapi tingkah laku ummatnya yang seringkali membangkang, seorang
Nabi yang memiliki keteguhan hati, sehingga Allah SWT., Sang Kekasih,
memberinya gelar ulil ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati).
Dari cuplikan kisah diatas, kita dapat
melihat betapa seorang hamba yang telah sangat dekat kepada Tuhannya ingin diridhai
oleh-Nya. Namun ada beberapa hal yang perlu kita teliti, kaji, dan cermati,
yakni, apa itu ridha? Bagaimana kita ridha terhadap
ketentuan-Nya? Dan bagaimana pula Allah SWT. ridha terhadap kita? Apakah
ridha bisa diusahakan atau sebatas kedudukan seorang hamba secara
spontanitas dan tidak bisa diusahakan?
Allah SWT. berfirman dalam kitab suci
al-Qur’an,
رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة,
التوبة, المجادلة, البينة)
Allah SWT. meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya
Kalau dalam bahasa santri, kata sambung عن (‘an) memiliki makna lilmujaawazah,
untuk melewati. Singkatnya, makna radhiyallaahu ‘anhum pada ayat
tersebut adalah “Allah SWT. meridhai mereka, tidak menyiksa mereka” (tarkul
muaakhadzah). Allah SWT. melewati mereka dari siksaan (makna sengaja
dari melewatkan). Sedangkan maksud dari wa radhuu ‘anhu adalah “mereka ridha
pada-Nya, tidak protes terhadap-Nya, terhadap segala ketentuan-Nya” (tarkul
i’tiraadh).
Ketika Allah SWT. telah ridha kepada hamba-Nya, maka apapun yang
hamba-Nya perbuat akan “dibiarkan” oleh Allah SWT.. Allah SWT.
tidak akan menyiksanya. Malaikat penjaga neraka pun tidak merasa tersiksa di
neraka karena telah mendapatkan ridha dari Allah SWT., Sang Penguasa. Demikian halnya ketika seorang hamba telah ridha
kepada Allah SWT., maka ia tidak akan “protes” atau melawan terhadap apapun
yang telah menjadi suratan-Nya di lauh mahfizh sana. Ia akan merasa puas
dan menerima pada vonis-Nya.
Untuk mendapat ridha dari Allah SWT. tentu seorang hamba mesti ridha
terlebih dahulu terhadap segala ketentuannya, begitulah syariat berkata. Lantas bagaimana
memanifestasikan ridha? Dimana pula posisinya dalam diri seorang hamba?
Berbicara tentang ridha, para
ulama berbeda pendapat mengenai kedudukannya dalam hati setiap hamba. Ulama Khurasan
berpandangan bahwa ridha
merupakan maqamaat, suatu peringkat yang bisa dicapai dan diusahakan.
Jadi sah-sah saja ketika kita mengucapkan “kamu harus ridha!” karena ridha
bisa diusahakan. Menurut mereka pula, ridha merupakan titik kulminasi
dari tawakkal. Berbeda dengan Ulama Irak. Mereka berpendapat bahwasannya ridha adalah
sebagian dari komponen ahwal, artinya tidak dapat diusahakan melainkan mengejawantah
dalam hati seorang hamba dengan sendirinya. Dalam pada itu, kedua pendapat
tersebut bisa diintegrasikan menjadi suatu pemahaman bahwa “permulaan ridha
bisa diusahakan oleh setiap hamba, dan ini termasuk maqamaat. Adapun
puncak dari ridha termasuk posisi ahwal, tidak bisa diusahakan”.
Dalam memanifestasikan ridha,
setiap orang memiliki refleksi dan penyerapan yang berbeda-beda lantaran pemahaman
mengenai ridha pun beragam adanya. Abu ‘Ali ad-Daqqaq berkata,
ليس الرضاء أن
لا تحس بالبلاء, إنما الرضاء أن لا تعترض على الحكم والقضاء
Sungguh indah penuturan tersebut. Menurutnya,
ridha bukan berarti tidak merasa akan balai, cobaan, dan ujian.
Melainkan ridha berarti tidak protes atau komplain terhadap vonis dan
ketentuan Allah SWT.. Jadi, ia berpandangan bahwa seseorang dikatakan ridha
ketika ia tidak protes atau komplain terhadap vonis dan ketentuan Allah SWT.,
meskipun terasa tidak enak. Sakit memang sakit, tetapi tetap menerima terhadap
apapun ketentuan-Nya. Senang boleh senang, tapi harus sadar bahwa itu merupakan
ketentuan Allah SWT. dan menerima dengan penuh rasa penghambaan. Karena memang hanya milik Allah SWT. lah segala vonis
dan ketentuan dan hanya milik Allah SWT. lah segala puji.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyyah yang
merefleksikan keridhaannya sampai tidak merasa apapun kecuali kesenangan
dan ketenangan. Ini terpancar dari sikap bathin melalui perkataan bijaknya,
سجني خلوة و
تغريبي سياحة و قتلي شهادة
Penjaraku adalah menyendiri dengan Tuhan, pengasinganku adalah rekreasi,
dan pembunuhanku adalah mati syahid. Saat ia dipenjara, ia memanfaatkan momen tersebut untuk berkhalwat dengan Allah SWT. Kala ia
diinternir, ia merasa hanya sedang berekreasi. Begitupun ketika nyawanya
terancam dan akan dibunuh, dengan penuh optimistis ia menganggapnya sebagai
jalan untuk mati syahid. Perkataannya mengindikasikan bahwa ia merasakan semua
hal yang menjadi cobaannya di dunia menjadi nikmat tak terkira. Inilah cara
Ibnu Taimiyyah. Tak ada beda antara nikmat dan sengsara, melainkan segalanya
terasa nikmat baginya. Dunia ini bak syurga baginya. Sehingga ia berpandangan
bahwa seseorang tidak akan merasakan nikmatnya syurga akhirat sebelum merasakan
syurga dunia. Lantaran,
mengutip perkataan Adnin Armas, pandangan eskatologis adalah inheren dalam
benak seorang muslim tatkala melakoni hidup. Dunia tidak dapat diceraikan dari
akhirat.
Pandangan terhadap sikap Ibnu Taimiyyah
pada dasarnya adalah penyerapan dan refleksi Ibnu Taimiyyah terhadap ridha.
Belum dikatakan ridha sebelum segalanya terasa
nikmat. Tetapi Abu ‘Ali ad-Daqqaq berbeda. Tidak perlu sampai merasa semuanya
nikmat, yang penting tidak protes dan komplain terhadap ketentuan dan vonis Allah
SWT. meskipun terasa berat dan menyakitkan.
Masih banyak figur-figur ulama yang menggambarkan
keridhaan kepada Allah SWT. dengan redaksi-redaksi yang berbeda. Tetapi,
dua contoh manifestasi ridha tersebut dapat
memberikan gambaran secara komprehensif bagaimana seorang hamba seharusnya
menyikapi hal-hal yang berbeda dari sikap bathin masing-masing hamba. Semuanya tergantung cara
masing-masing dalam memanifestasikan ridha kepada Allah SWT.
Perlu diperhatikan bahwa seseorang
diwajibkan untuk ridha hanya bagi hal-hal yang memang diwajibkan untuk
meridhainya, karena tidak semua ketentuan Allah SWT. boleh atau wajib diridhai
oleh seorang hamba. Ada beberapa hal yang mana hamba tidak boleh meridhainya,
yakni maksiat dan berbagai bencana kaum muslimin. Maksiat dan bencana apapun
merupakan ketentuan Allah SWT., tetapi kita tidak boleh ridha karenanya.
Misalnya ketika seseorang berbuat zina, kemudian ia merasa, “ya Allah SWT., aku
ridha terhadap ketentuan-Mu yang ini”, itu tidak dibolehkan. Melainkan
ketika terjerumus terhadap suatu kemaksiatan atau terjadi bencana terhadap kaum
muslimin kita harus merasa bingung dan geram, mengapa hal ini terjadi. Hal ini
selaras dengan hadits Nabi saw. yang diterima dari Abu Umamah r.a., bahwasannya
seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu iman?”. Rasulullah saw menjawab,
“Apabila kebaikanmu membuatmu senang dan keburukanmu membuatmu geram, maka kamu
adalah seorang yang beriman” (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan
al-Baihaqi). Jadi, cara mendapatkan keridhaan Allah SWT. adalah dengan ridha
terhadap segala vonis dan ketentuan-Nya.
Kewajiban ridha terhadap apapun
ketentuan Allah SWT., selain yang dilarang untuk ridha, adalah perihal
syariat. Artinya jika berhenti di sini, maka perjalanan kita hanya sampai pada
ranah syariat, sedangkan untuk sampai pada Allah SWT. kita harus sadar bahwa
pada hakikatnya apapun yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Ketika kita
“merasa” sudah bisa atau berusaha untuk ridha, sesuai dengan yang telah
ditentukan, kita tidak boleh titik sampai di sana. Perjalanan kita harus
dilanjutkan pada ranah hakikat. Kita tidak boleh merasa bahwa ridhanya
kita adalah hasil dari kemampuan kita, karena kehendak kita, bukan semata
rekayasa Allah SWT. Tuhan Semesta.
Pada hakikatnya, Allah SWT. lah yang
mengatur segalanya. Karenanya, seorang hamba tidak akan bisa ridha
terhadap Allah SWT. sebelum Allah SWT. ridha terlebih dahulu kepadanya.
Sebagaimana dalam ayat yang disebutkan sebelumnya, رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ “Allah SWT. ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya”. Jadi, pada hakikatnya, ridhanya seorang hamba merupakan
indikator dari ridhanya Allah SWT. kepadanya. Sekali lagi, ini merupakan
langkah selanjutnya, yakni kesadaran diri bahwa ketika seorang hamba telah bisa
atau berusaha ridha, pada hakikatnya Allah SWT. lah yang terlebih dahulu
ridha terhadapnya. Dengan demikian hamba tersebut tidak akan
menyandarkan diri kepada amalnya termasuk ridha. Karena syariat adalah
tuntutan dan larangan, sedangkan hakikat adala sikap bathin dalam menyadari
rekayasa Allah SWT. terhadap segala sesuatu. Allah SWT. membuat seorang hamba
taat begitupun membuatnya maksiat, inilah hakikat. Tetapi Allah SWT.
memerintahkan untuk taat dan melarang maksiat, inilah syariat.
Terakhir, ada sebuah kisah yang
dituturkan oleh Abu ‘Ali ad-Daqqaq. Seorang murid bertanya kepada gurunya,
“Apakah seorang hamba dapat mengetahui bahwa Allah SWT. ridha
kepadanya?” Sang guru menjawab, “Tidak. Bagaimana mungkin ia bisa tahu
sedangkan ridha-Nya ghaib (abstrak)?”. “Tapi menurutku bisa saja
ia tahu”, sanggah sang murid. “Bagaimana?”, tanya sang guru. Lantas sang murid
menjawab, “Manakala aku mendapati hatiku ridha terhadap ketentuan-Nya
maka aku pun tahu bahwa sebenarnya Allah SWT. ridha kepadaku”. Sang guru
berakta, “Bagus, nak”. Begitupun ketika seorang hamba merasa aral dan tidak ridha
terhadap ketentuan Allah SWT., sebenarnya Allah SWT. sedang tidak ridha
padanya.
Wallaahu a’lam.
Hanif Rahmat
Santri PPUII
Statistika/FMIPA/UII
Thanks for reading RIDHA
DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
ReplyDeleteBONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.net
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^