Thursday, December 27, 2012

SYARIAT DAN HAKIKAT*

December 27, 2012

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)

 “7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain8. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
(QS Al-Insyirah [94]: 7-8 )
         Dunia ini penuh dengan keabsurdan kala berbicara tentang syariat dan hakikat. Permasalahan syariat dan hakikat memang begitu pelik. Bagaimana tidak, banyak kalangan masyarakat Muslim keliru dalam memahami istilah syariat dan hakikat. Ada yang memiliki pemahaman bahwa syariat itu merupakan perbuatan manusia, sedangkan hakikat itu merupakan perbuatan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, titik sampai disitu. Dari statement tersebut, timbul pertanyaan bagaimana Allâh mengatur manusia sedangkan manusia itu sendiri yang menciptakan perbuatan mereka, manusia itu sendiri yang memiliki pilihan dalam menentukan alur kehidupannya.
        Berlawanan dengan hal tersebut, paradigma lain yang beredar adalah bahwa jika semuanya sudah ditentukan oleh Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mengapa kita harus capek bekerja dan beribadah? Untuk melerai perbedaan pemahaman seperti itu kiranya menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami syariat dan hakikat.

Syariat
     Imam Abu Al-Qasim al-Qusyairiy berkata bahwa syariat adalah  أمربالتزام العبودية, perintah untuk benar-benar menyanggupi kehambaan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.  Syariat adalah perintah Allâh untuk mengekspresikan kehambaan diri kepad-Nya, yakni sungguh-sungguh berserah diri pada perintah Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ. Tidak ada protes, tidak berpikir panjang dalam pelaksanaannya, dan konsekuen melaksanakan ibadah. Jika Allâh memerintahkan sesuatu maka harus dilaksanakan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu, tidak ada pilihan untuk berpikir menggunakan akal pikiran, begitupun apabila Allâh melarang sesuatu maka harus dihindari. Dengan kata lain, syariat merupakan dogma yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Adapun jika dalam praktiknya menuai berbagai hikmah yang bisa dikaji dengan akal manusia, maka hikmah itu tidaklah menjadi sebab disyariatkannya suatu amal.
      Sebagaimana kita tahu bahwa dalam menjalankan syariat haruslah terdapat dua aspek yang menjadi syarat diterimanya amal, yakni harus murni karena Allâh (ikhlas) dan tatacaranya harus sesuai dengan yang telah ditentukan.

Hakikat
         Abu Al-Qasim al-Qusyairiy menyatakan bahwa hakikat adalah مشاهدة الربوبية, menyaksikan rububiyyah Allâh, bahwa Allâh lah yang Maha Mengatur dan Maha Merekayasa. Arti dari kesaksian disini adalah tatkala kita melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, atau dengan kata lain melaksanakan syariat, kita tetap sadar bahwa kita berada dalam program Allâh. Kita melakukan ini dan melakukan itu hakikatnya adalah rekayasa Allâh, bukan karena kekuatan kita. Kala itu mata hati kita selalu memandang Allâh lah Yang Maha Merekayasa, Allâh lah Yang mengatur segalanya.
Antara Syariat dan Hakikat
           Menurut Hujjatul Islam, Abû Hamid bin Muhammad al-Ghazali, ada tipe orang yang disebut dengan istilah falasifah ilâhî (para filusuf ketuhanan). Orang seperti ini, dalam penuturan Imam Ghazali, hanya mengetahui hikmah dari amal-amal yang diperintahkan namun tidak mengetahui apa akibat dari meninggalkannya. Ia hanya mengetahui hikmah shalat namun tidak mengetahui akibat dari meninggalkan shalat. Ia hanya mengetahui hikmah zakat namun tidak mengetahui akibat dari meninggalkan zakat.
        Dalam kitab al-Munqizh min al-Dhalal, Imam Ghazali membandingkan orang-orang seperti itu dengan perumpamaan yang amat indah. Menurutnya, orang seperti itu tidak lain seperti seorang anak yang diwarisi bangunan oleh ayahnya. Di samping bangunan itu terdapat pepohonan yang rindang. Sang ayah berpesan kepada anaknya untuk tidak pernah sekali-kali menebang pepohonan tersebut. Suatu saat sang anak penasaran mengapa ayahnya tidak boleh menebang pohon tersebut. Lama ia berpikir. Memang, dari pohon tersebut tercium aroma wangi yang semerbak memenuhi seluruh bangunan itu, namun pohon itu membuat bangunannya menjadi gelap karena cahaya yang masuk tertutupi oleh pepohonan tersebut.
          Hingga pada suatu saat sang anak berpikir bahwa mungkin sang ayah melarangnya menebang pohon tersebut supaya bangunan ini tetap wangi. Akhirnya ia memutuskan untuk menebang pepohonan tersebut agar tidak menghalangi cahaya yang masuk dan mengganti aroma wanginya dengan parfum. Keesokan harinya, sang anak mati disengat ular berbisa. Ternyata, pepohonan tersebut selain menebarkan aroma yang wangi juga sebagai penangkal ular berbisa agar tidak menyerang manusia di sekitarnya.
            Falasifah ilâhî, mereka hanya mengetahui hikmah dan manfaat dari shalat yakni –misalnya- untuk mengingat Allâh, sehingga mereka berpikir shalat bisa diganti dengan cukup dzikir saja. Namun, mereka tidak mengetahui fungsi lain dari shalat, yakni sebagai penangkal neraka. Mereka hanya tahu hikmah dan manfaat dari zakat namun tidak tahu menahu akibat dari meninggalkannya. Mereka tidak tahu firman Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, “apa yang menjerumuskan kalian ke neraka saqar?’ Mereka (para penghuni neraka) menjawab, ‘kami tidak termasuk orang yang suka shalat dan kami tidak memberi makan orang-orang miskin”. Mereka luput dari hal yang tidak terjangkau oleh akal mereka. Manusia hanya mempu menangkap hikmah dari amal dengan akal mereka, namun akal mereka tidak dapat menjangkau hal-hal yang di luar itu. Surga dan neraka hanya Allâh yang tahu dan itu tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia. Manusia membutuhkan keimanan untuk menjangkaunya. Dalam hal ini, para falasifah ilahiyhanya melaksanakan hakikat, namun tidak melaksanakan syariat
          Ayat-ayat al-Qur’ân yang menjadi dalil akan kemestian untuk mengintegrasikan antara “beramal sesuai dengan tuntutan syariat” dan “mengakui kebenaran hakikat” banyak sekali, misalnya adalah ayat dalam surat al-Insyirah ayat 7-8 yang berbunyi,“Lantas jika kamu telah selesai (dari urusanmu) maka teruskanlah (pada urusan yang lain). Dan berharaplah hanya kepada Allâh”. Ayat tersebut bermakna bahwa kita harus tetap berusaha, namun jangan titik sampai disana, jangan titik sampai melaksanakan syariat saja sehingga bersandar padanya. Berharaplah hanya kepada Allâh, karena Allâh lah yang mengatur segalanya. Sadar bahwa kita melakukan perbuatan ini dan itu merupakan program Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.
            Kemudian, ketika al-Qur’ân mengisahkan Nabi Ya’qub, Allâh berfirman dalam surat Yusuf ayat 67-68, “dan tatkala Ya’qub berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk dari satu pintu yang sama tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda,namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikit pun daripada (takdir) Allâh. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allâh; kepada-Nya-lah aku bertawakal, dan orang-orang yang (ingin) bertawakkal hendaklah bertawakkal kepada-Nya saja”. Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikit pun dari takdir Allâh, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Yakub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. Sungguh indah kisah tersebut.
       Nabi Ya’qub a.s. melarang anak-anaknya untuk tidak masuk dari pintu yang sama tidak lain hanya karena mengentaskan rasa penasarannya, ia melaksanakan syariat, ia melaksanakan usaha karena memang begitulah kemestiannya. Namun, ia tetap sadar bahwa usaha apapun tidak akan dapat mengubah keputusan Allâh. Perbuatan Nabi Ya’qub a.s. ini dipuji oleh Allâh, “dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan”, namun tatap saja “karena Kami yang telah mengajarkan kepadanya” sehingga tidak ada celah untuk sombong dalam hati karena sadar bahwa Allâh lah yang mengatur segalanya. Namun kebanyakan manusia memang tidak mengetahui kemestian ini.
         Ketika orang tua yang menasihati anaknya, seyogyanya dibarengi dengan keyakinan bahwa ia tidak dapat mendobrak takdir Allâh. Allâh lah yang mengatur segalanya. Jika seorang ayah harus melarang anaknya untuk tidak ngebut ketika mengendarai motor, misalkan, itu hanya sebatas keharusan untuk berusaha menjalankan syariat. Adapun jika anaknya selamat, jangan sampai berkeyakinan “untung kamu nurut” atau “untung tadi ayah melarangmu ngebut”, tapi sadarilah itu adalah ketentuan Allâh, sehingga dengan keyakinan ini sang ayah dan anak dapat bersyukur. Semuanya telah diatur dalam skenario Allâh. Karena jika keyakinan ini tidak ada, maka yang akan terjadi jika sang anak ngebut tapi selamat, atau tidak ngebut tapi malah tabrakan adalah rasa “jengkel” terhadap ketentuan Allâh karena hanya bersandar pada syariat, “tidak berhakikat”.
                Berusaha itu harus karena kita harus beramal sesuai dengan tuntutan syariat, dan ini merupakan perbuatan lahir. Sedangkan tawakkal pun harus karena ini merupakan rasa sadar akan hakikat kebenaran, dan ini merupakan perbuatan bathin. Sebagaimana Rasulullah bersabda ketika seorang sahabat bertanya apakah ia harus membiarkan untanya (tidak diikat) kemudian bertawakkal atau harus bagaimana, “ikatlah unta itu, lalu silakan bertawakkal!”. Dengan kata lain, syariat dan hakikat merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[]

*Tulisan ini diterbitkan oleh buletin al-Rasikh dan dapat dilihat juga di
 http://alrasikh.uii.ac.id/

KETUHANAN DAN KEHAMBAAN

December 27, 2012


Sejenak kita merenung dan mengintrospeksi mengenai apa yang telah kita lakukan di masa lampau. Apakah setahun yang lalu telah menjadi amal baik, sehari yang lalu kebaikan kita lebih banyak, apakah satu detik yang lalu telah menjadi kebaikan untuk kita, ataukah sebaliknya.
Ketika kita telah menjalani berbagai fase kehidupan, kadang –bahkan seringkali- kita merasa geer, keimanan kita goyah, tergoncang, khawatir, bimbang dan terganggu. Perjalanan hidup ini memang fluktuatif adanya. Tidak akan selamanya berada di bawah, pun di atas.
Dunia ini belum kiamat. Kita hanya baru melampaui satu fase kehidupan. Roda kehidupan akan terus berputar melaju tanpa henti. Begitupun dengan selesainya suatu masalah, tidak berarti berhenti sampai disana. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah melalui dan menjalani kehidupan ini sewajarnya seperti halnya manusia biasa. Tetap bersikap sadar dan ingat bahwa tugas kita tidak berubah. Tidak bertambah dan tidak berkurang, yakni menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Profesi apapun yang kita jalani, hal apapun yang kita lalui, masalah apapun yang kita hadapi, posisi kita sebagai manusia tetap menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Selamanya tidak akan berubah.
Allah SWT. berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Pemahaman dari ayat ini bukan berarti Allah SWT. menciptakan jin dan manusia karena Allah SWT. ingin disembah, melainkan Allah SWT. memberikan tugas kepada jin dan manusia agar menyembah-Nya semata. Jadi jelaslah bahwa penghambaan jin dan manusia kepada Allah SWT. merupakan konsekuensi dari penciptaan. Dengan kata lain, Allah SWT. menciptakan manusia bukan untuk mencari nikmat dunia, bukan untuk mencari tahta, bukan untuk mencari jabatan, dan lain sebagainya. Allah SWT. menciptakan manusia dan jin hanya supaya mereka menyembah-Nya.
Dari ayat tersebut pula kita dapat memahami secara lebih mendalam mengenai esensi kehambaan diri kepada Allah SWT., bahwa yang berhak disembah oleh jin dan manusia hanyalah Allah SWT.. Seakan-akan Allah SWT. berkata melalui ayat itu, “karena Aku yang menciptakan jin dan manusia, maka hanya kepada-Ku lah mereka harus menyembah”. Jika yang menciptakan jin dan manusia adalah Allah SWT., masa yang kita sembah malah uang, pekerjaan, jabatan, syetan, hawa nafsu, keinginan, dan kebencian belaka. Maukah kita jika disebut hamba uang sebagaimana dalam judul lagu Iwan Fals? Ataukah hamba nafsu? Tentu tidak.
Oleh karena itu, niatkanlah setiap amal kita sebagai ajang ibadah kepada Allah SWT. semata. Memang dalam al-Qur’an maupun hadits tidak ada perintah untuk menjadi sopir angkot –misalnya-, namun jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT. untuk mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan ladang usaha yang dapat dilakukan adalah menjadi sopir angkot, maka menjadi sopir angkot itulah yang menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan kepada Allah SWT..
Jadi, apapun yang kita lakukan hendaklah dilandasi dengan niat menghambakan diri kepada Allah SWT.. Baik itu dalam hal sosial, politik, budaya, makan, minum, dan segala hal yang kita lakukan. Dengan kesadaran seperti itu, maka tidak akan ada celah untuk terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT., karena tidak mungkin hal-hal yang dilarang menjadi sarana untuk mengabdi kepada-Nya.
Implementasi Penghambaan
Sikap pengabdian diri kepada Allah SWT. tentu akan menganggap Allah SWT. sebagai satu-satunya Tuhan yang mengatur dan merekayasa semuanya. Namun ketika seseorang merasa dan menganggap dirinya lah yang mengatur kehidupan ini, maka akan terjangkit penyakit sombong dalam dirinya, dan secara tidak langsung ia telah menjadi tuhan kecil dalam kehidupannya.
Kisah menarik tentang Qarun pada zaman Nabi Musa a.s. Ia adalah seorang yang kaya raya. Kunci gudang-gudang kekayaannya dipikul oleh unta-untanya. Ia sangat pintar. Ia adalah penghafal kitab Taurat ketiga setelah Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. Betapa pintar dan kayanya ia. Namun, ia merasa bahwa kekayaan itu ia dapat karena kepintarannya. Yang terbesit di benaknya adalah, “pantas saja aku kaya, kan aku pintar”. Ia telah bersikap arogan dan sombong. Sedangkan kesombongan adalah selendang Allah SWT., hanya milik Allah SWT.. Tidak akan pantas jika seorang hamba memakai selendang Tuhan.
Karena perbuatan yang keji dan sikap yang sombong itulah akhirnya Qarun ditenggelamkan dalam bumi sebagai hukuman di dunia dan dijamin masuk neraka sebagai hukuman di akhirat kelak.
Maka janganlah kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil yang membanggakan apa yang ada pada diri kita dan mengklaim bahwa dengan kekuatan dan kekuasaan kitalah hal itu dapat tercapai.
Selain tidak menjadi tuhan-tuhan kecil, implementasi penghambaan diri kita kepada Allah SWT. ialah dengan tidak menghambakan diri kepada selain Allah SWT.. Tatkala kita melakukan aktivitas apapun yang legal, yakni yang mubah, sunnah, dan wajib, harus dilandasi oleh niat lillaah (untuk Allah SWT.), tidak untuk selain-Nya. Yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, nadzar, dan lain sebagainya, sudah barang tentu harus dilaksanakan, entah itu dengan niat hanya menggugurkan kewajiban, karena takut neraka dan ingin masuk syurga, atau karena kesadaran diri yang mendalam sebagai seorang hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Allah SWT.. Begitupun yang sunnah, hal-hal yang dianjurkan oleh syariat, dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Tuhannya. Adapun hal-hal yang mubah, boleh dilakukan dan boleh juga tidak, dijadikan sarana untuk meraih suatu tujuan yang mulia yakni mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Makan dan minum merupakan sesuatu yang mubah. Namun jika makan dan minum itu dimaksudkan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan sehingga dengan sehat kita dapat senantiaasa beribadah kepada Allah SWT., maka makan dan minum itu menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Karena hal apapun yang mubah selalu dijadikan sarana atau alat untuk meraih tujuan, sehingga esensinya pun sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.
“Barangsiapa mengenal dirinya, tentu ia mengenal Tuhannya”. Barangsiapa menyadari dirinya sebagai hamba, tenti ia menyadari Allah SWT. sebagai Tuhannya. Tuhan bukan tuan. Seorang tuan membutuhkan hambanya untuk membantu membuat makanan, untuk mencuci piring, untuk membersihkan mobil, dan lain sebagainya, sebagai ekspresi pengabdiannya. Namun lain halnya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah membutuhkan hamba untuk mencarikan makan atau harta. Justru Tuhan lah yang memberikan hamba rizki dan kenikmatan. Lantas, bagaimana kita sebagai hamba harus mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT. sebagai Tuhan?
Esensi Kehambaan
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. dengan memurnikan ketaatan/niat hanya untuk-Nya dan dengan lurus (sesuai dengan tuntutan)”. Q.S. Al-Bayyinah : 5.
Dari ayat tersebut, setidaknya ada dua aspek yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT., yakni ikhlash (memurnikan pengabdian/penghambaan hanya untuk Allah SWT.) dan hanif (sesuai dengan tuntutan syariat). Ikhlas dalam aspek ini berarti memurnikan niat kita untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT.. Tidak untuk yang lainnya. Shalat kita niatkan murni untuk Allah SWT., bukan untuk dilihat orang. Shadaqah murni untuk Allah SWT., bukan untuk dipuji orang. Bekerja murni untuk Allah SWT., bukan untuk kesenangan dan jabatan.
Aspek kedua yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT. adalah hanif, yakni tatacaranya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT.. Jika kita shalat dengan niat murni karena Allah SWT. namun tatacaranya tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan, tentu pengabdiannya tidak akan diterima. Begitupun dengan zakat, puasa, dan amal-amal lain yang telah ada ketentuan mengenai tatacaranya.
Dengan mengekspresikan penghambaan diri kepada Tuhan, maka kita telah melaksanakan hakikat tugas sebagai manusia, karena menghambakan diri kepada Allah SWT. merupakan suatu kemestian dan keniscayaan. Begitupun Allah SWT., satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Bagaimana tidak, Dialah yang menciptakan seluruh alam, termasuk manusia. Dengan kata lain, sadarilah bahwa diri ini hanyalah hamba, sehingga akan timbul kesadaran bahwa Allah lah Tuhan Yang Maha Esa.

Monday, October 22, 2012

LEADERSHIP

LEADERSHIP

October 22, 2012

Nama   : Hanif Rahmat
NIM    : 11611101

Prof. Ma’rat mengemukakan enam teori mengenai munculnya kepemimpinan, yaitu
  1. Teori orang terkemuka. Teori ini menyatakan bahwa kepemimpinan sangat bergantung dengan keturunannya. Dengan kata lain, kepemimpinan lahir dari bakat bawaan.
  1. Teori lingkungan. Secara umum kepemimpinan menurut teori ini terlahir dari kemampuan dan keterampilan seseorang yang memungkinkan dia memecahkan maslaah sosial dalam keadaan tertekan, perubahan, dan adaptasi.
  1. Teori personal-situasional. Teori ini menyatakan bahwa dalam kepmimpinan perlu adanya beberapa faktor induvidu seperti sifat kepribadian, sifat afektif, intelektual dan psikomotor, dan lain sebagainya, juga dipengaruhi oleh hal-hal yang situasional baik itu perubahan atau masalah yang terjadi kepada induvidu itu sendiri atau kelompok dan kondisi yang terjadi pada individu tersebut dalam pelaksanaannya.
  1. Teori interaksi harapan. Peran kepemimpinan ini didasarkan pada tiga variabel dasar, yaitu tindakan, interaksi dan sentimen. Asumsinya bahwa peningkatan frekuensi dan partisipasi sangat besar kaitannya dengan peningkatan sentimen/perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok.
  1. Teori humanistik. Dalam teori ini, kepmimpinan memiliki fungsi memodifikasi organisasi untuk merealisasikan potensi motivasinya dalam memnuhi kebutuhan danpada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Dengan kata lain, kepmimpinan menurut teotri ini sangat bergantung pada kelompok dari organisasi yang dipimpin.
  1. Teori pertukaran. Menurut teori ini proses mencapai kepemimpinan atau kelahiran seorang pemimpin memiliki proses saling memberi dan menerima di antara para anggota kelompok. Kelanjutan interaksi terjadi karena para anggota mendapat pertukaran yang berimbang. Artinya, apa yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang diperoleh.
Selain teori tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli teori kepemimpinan mengenai timbulnya seorang pemimpin, diantaranya adalah teori genetis yang menyatakan bahwa kepmimpinan bergantung pada keturunan (“leaders are born and not made”), teori sosial yang menyatakan bahwa lahirnya seorang pemimpin bergantung pada kehidupan sosial yang menuntunnya menjadi seorang pemimpin (“leaders are made and not born”), dan teori ekologis yang menyatakan bahwa seorang pemimpin akan menjadi baik jika memiliki keturunan (bakat) dan usaha yang dilakukan dalam mencapai kepemimpinan tersebut.
Jika ditinjau secara sosiologis, peranan sebagai pemimpin dapat diperoleh seseorang dengan jalan :
  1. Prestasi (achieved).
  2. Dibebankan karena tradisi dan sebagainya (ascribe).
  3. Diberikan karena alasan-alasan tertentu (assigned).

Monday, October 8, 2012

HIDUP ITU RASIONAL

HIDUP ITU RASIONAL

October 08, 2012


Tidak masuk akal bahwa semua ini masuk akal, tetapi semua ini masuk akal bahwa pasti ada yang tidak masuk akal. Jadi, semua ini sebenarnya masuk akal dan masuk akal adanya bahwa tidak semuanya masuk akal. Pun semua ini berasal dari Yang masuk akal. Ya, masuk akal ketidakmasukalannya.

Tuesday, September 25, 2012

BUKAN "TAKMIR" MASJID

September 25, 2012


Ada sebagian, bahkan banyak, yang mengartikan 'kemakmuran' atau 'memakmurkan' atau lebih tepatnya Dewan Kemakmuran Masjid, itu dengan padanan kata bahasa arab "ta'mir" masjid.
entah bahasa itu berawal dari siapa dan dari mana. kata "ta'mir" yang sering kita dengar sebagai sebutan bagi orang-orang yang suka memakmurkan masjid itu keliru jika ditinjau dari sisi kebahasan, kecuali jika menambahkan bahasa itu ke dalam kamus besar bahasa indonesia sebagai kosa kata baru bagi bahasa kita.
ta'mir diambil dari kata 'ammara-yu'ammiru-ta'miirun (عمّر - يعمّر - تعمير) yang artinya adalah "memberi umur". jika malas untuk mencarinya dalam kamus bahasa arab, kita bisa tahu dari surat al-Baqarah ayat 96.
يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ 
"Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal diberi umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa."
dalam ayat ini kata tersebut diredaksikan dalam bentuk pasif, yakni "diberi umur" (yu'ammaru). kiranya dari sini kita tahu bahwa penamaan ta'mir masjid bagi kemakmuran masjid itu tidak tepat, kecuali jika memang maksudnya adalah sebagai pemberi umur bagi mesjid, maksudnya melestarikan masjid. (di-ta'wil saja lah... ^_^)

lantas, apa padanan kata memakmurkan/meramaikan dalam bahasa arab?
kata memakmurkan/meramaikan dalam bahasa arab adalah 'amara-ya'muru-'amrun-'amaaratun (عمر - يعمر - عمر - عمارة).
jika malas mencari di kamus bahasa arab atau memang tidak punya kamusnya sama sekali, kita bisa lihat, salah satunya, dalam surat at-Taubah ayat 18.
...إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
"Hanyalah yang memakmurkan/meramaikan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..."

jadi, jika kita ingin memberi nama kemakmuran masjid dengan bahasa arab hendaknya memakai kata "'imaaratul masjid" (keramaian masjid). kalau yang meramaikan masjid disebut "'aamirul masjid". ma'mur itu berarti "yang diramaikan" tetapi sudah lazim menjadi bahasa serapan kita, ma'mur ya makmur.

memang bisa juga kata 'ammara-yu'ammiru ini diartika sebagai "membuat orang/hal lain memakmurkan/meramaikan masjid" dengan memasukan kata 'amara kepada pola "fa''ala" menjadi "'ammara" sehingga memiliki dua objek. namun maknanya akan semakin rancu, terutama bagi padanan kata "Dewan Kemakmuran Masjid". ^_^

lalu mengapa orang orang seringkali menyebut "takmir masjid" bukan DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) saja sekalian biar di-Indonesiakan, kalau bahasa saya "Indonesiaisasi", ngejelimet juga ya... ^_^ :D
ya, saya juga tidak tahu mengapa seperti itu, mungkin yang memberi nama ada maksud lain sehingga nama yang diberikan adalah "takmir masjid", di awal pembicaraan juga saya sudah mengungkapkan ketidaktahuan saya tentang dari mana dan siapa yang mengawali istilah seperti itu. kalau ada yang tahu, kasih tahu saya ya... ^_^ :)

mungkin sebagian orang ada yang menyanggah, "ya sudahlah, itu kan masalah kebahasaan saja, toh yang penting esensi dan eksistensinya sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kemakmuran masjid"
saya jawab, "ya memang, tapi nggak jelek juga kan???"
 
### Oke, sampai di sini adalah postingan sebelum direvisi. Di bawah ini adalah tambahan.

Terima kasih kepada yang sudah berkomentar dan memberi masukan untuk postingan ini, sehingga kekurangan dapat dilengkapi dan kesalahan dapat diperbaiki. Di antara isi dari komentar yaitu bahwa kata عمّر - يعمّر - تعمير merupakan kata yang diderivasi dari عمر - يعمر - عمارة yang berarti "meramaikan", lalu dimasukkan kepada wazan فعّل - يفعّل - تفعيلا . Dengan demikian, penamaan "ta'mir" dalam konteks DKM sudah benar dan bermakna serupa dengan عمر - يعمر - عمارة yaitu meramaikan.



Monday, September 24, 2012

DULU FISIKA, SEKARANG STATISTIKA

DULU FISIKA, SEKARANG STATISTIKA

September 24, 2012


hidup ini memang sulit untuk diterka dengan akal kita. aku selalu merenungi kehidupanku ini, hingga saat ini, yang mungkin sangat berbeda dengan apa yang telah ku perkirakan dan ku pikirkan serta ku bayangkan dulu, dulu sekali. mungkin jika ku perhitungkan tingkat perbedaannya sekitar fx(x,y)=dz/dx derajat, dimana dz/dx merupakan turunan parsial pertama dari z=1/4 (64+8x^2-8y^2)^(1/2), pada titik (x,y) dimana x=y=360.
disini aku memakai kata "aku", maksudku hanya ingin menunjukkan keakuanku.
aku ingin berbagi kisah pengalamanku pada para pembaca yang budiman. sejak dulu keinginanku adalah bergelut dalam dunia fisika. mungkin karena dulu ketika masih duduk di bangku SLTP aku sempat mendapatkan nilai ujian mata pelajaran fisika yang tidak terlalu jelek, hanya mendapat kesalahan satu nomor soal multiple choice. selain itu aku sempat juga mengikuti olimpiade fisika yang diadakan oleh Institut Teknologi Bandung. ya, mungkin aku sempat menjadi murid yang cukup "disukai" oleh guru-guru fisika ku sejak SLTP dan SLTA kelas 1, kenapa? karena guru fisika ku ketika aku kelas 2 dan 3 SLTA "terlalu pintar" dan pembahasan logikanya dalam sekali, maklum beliau dosen fisika ITB ^_^, sehingga akupun sulit untuk mengikuti pelajarannya. namun, dari guru fisika ku yang inilah aku memiliki keinginan kuat untuk mempelajari filsafat. hah? filsafat? bukankah itu ilmu yang sia-sia, bahkan haram? atau yang lebih parah lagi ada yang bilang kalau filsafat itu tidak masuk akal... -__-"
aku tidak akan membahas filsafat disini. (masalahnya aku belum berani dan -yang terpenting- belum bisa... ^_^)
aku ceritakan sedikit latar belakang pendidikanku saat duduk di bangku SLTA. 
aku sekolah di SMK farmasi, aku masuk ke sekolah itu karena aku melihat prospek lulusannya, menurutku, baik dan bisa diterima dimana saja, baik di dunia kerja maupun di bangku kuliah. meskipun aku sadar bahwa kefarmasian merupakan hal yang baru bagiku karena keinginanku hanya fisika, bahkan sampai sekarang pun begitu, namun aku tetap ingin mencoba memasuki dunia kefarmasian dengan apapun risikonya.
hingga saat itu, meskipun aku sekolah di SMK farmasi, dan alhamdulillah prestasiku di bidang farmasi tidak begitu mengecewakan, bahkan aku sempat menjadi murid teladan/lulusan terbaik saat pelantikan dan wisuda, aku tetap terpikat oleh yang namanya fisika, bukan karena aku sudah bisa, justru karena aku ingin bisa.
ceritaku memang bisa dibilang entah konyol atau aneh atau apapun deh, pokoknya aku merasa tertarik dengan ceritaku sendiri, jadi yang penasaran silakan baca sampai beres ya. ^_^

ketika itu aku sudah lulus dari SMK farmasi. prinsipku saat itu adalah langsung bekerja atau kuliah dengan bantuan beasiswa. titik. tak ada pilihan lagi. namun priositasku adalah kuliah dengan mendapatkan beasiswa.
aku telah berusaha mencari beasiswa kesana kemari. singkat cerita -mungkin jika ingin aku akan menceritakan perjuanganku mencari beasiswa full version- alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa full version -full studi maksudnya- di Universitas Islam Indonesia. saat itu aku diterima di jurusan farmasi namun baru lulus ujian masuk saja tapi belum memberikan persyaratan administrasi. langsung saja pada pokok kendala, ketika sudah waktunya aku menyerahkan persyaratan administrasi, ada satu persyaratan yang belum aku penuhi yaitu surat keterangan bebas buta warna dari dokter mata. aku segera pergi ke dokter untuk meminta surat keterangan tersebut. namun hasilnya, mencengangkan, aku divonis buta warna parsial. kemudian aku pergi ke dokter lainnya. sampai tiga dokter sudah aku datangi dan hasilnya tetap sama saja, aku divonis buta warna parsial karena dari sekian angka dari buku test buta warna itu selalu saja ada satu atau dua angka yang tidak bisa ku lihat jelas. aku merasa kaget saat itu, padahal saat aku masuk SMK farmasi pun aku menjalani test seperti itu, dan 10 bulan sebelumnya aku menjalani test semacam itu pula di ITB, dan semuanya berhasil, aku divonis normal. namun ketika aku akan menyerahkan persyaratan administrasi ke UII kenapa aku tidak bisa melihat angka-angka itu? 
waktu itu aku tak tahu apakah yang seharusnya aku rasakan, sungguh, entah sedih atau senang? kenapa? aku sedih karena mengetahui keadaanku yang seperti itu kala itu, namun di lubuk hati yang paling dalam -ehmm...- aku merasa "biarlah, malah sukurlah, akhirnya aku bisa pindah jurusan" seakan aku sudah tak ada minat lagi untuk bergelut di bidang kefarmasian.
kebetulan di UII tidak ada jurusan fisika, jadi aku memutuskan untuk pindah ke jurusan psikologi saja. aku pun sudah diterima di jurusan psikologi, sudah mendapatkan konfirmasi dari ketua jurusannya. namun banyak orang-orang terdekatku yang menyarankan untuk masuk jurusan statistika saja karena itu lebih dekat dengan basic pendidikanku yakni bidang exact. akhirnya jadilah aku mahasiswa statistika sampai sekarang.
nah, katanya ingin ke fisika?
dulu rencanaku adalah kuliah di jurusan farmasi karena basic pendidikanku adalah farmasi, aku akhirnya sadar bahwa aku telah mengabaikan kata-kata motivasi semacam "gapailah mimpimu", "bermimpilah setinggi langit", "ikuti kata hatimu", aku mengabaikan hal-hal semacam itu jadi aku tak mengikuti keinginanku untuk bergelut di dunia fisika.
lantas mengapa tidak pindah universitas saja yang ada jurusan fisikanya?
aku terlanjur sudah mendapatkan beasiswa full study disini, jadi sayang kalau aku tidak mengambilnya.
pada akhirnya, yang dulu ada dalam benakku adalah menjadi fisikawan, filusuf, penulis, sekarang malah kuliah di jurusan statistika, mempunyai group musik pula.

alhamdulillaah, hanya kalimat syukur itu yang bisa kuucapkan sebagai bentuk apresiasi dari perasaan hatiku ini. aku tidak menyesal masuk jurusan statistika, tidak sama sekali, namun yang ku sesali adalah tidak masuk jurusan fisika. aku masih suka dengan filsafat, aku pun suka dengan perempuan ^_^, dan aku masih suka dengan fisika, mungkin sekarang hanya bisa sebatas suka karna aku telah menemukan sesuatu yang lebih berhak mendapat perhatian penuh dariku, yaitu statistika. aku merasa cukup nyaman di statistika ini. statistika mengajarkanku logika, meskipun tak seperti fisika, namun aku selalu yakin bahwa Allah telah menempatkanku di tempat yang seharusnya aku berkiprah disana. 
salam STATISTIKA.

dulu fisika, sekarang statistika, yang penting Allah semata, selamanya.

Tuesday, April 3, 2012

Dinasti Abbasiyah: Konsep Kekhalifahan

April 03, 2012

DINASTI ABBASIYAH DALAM KONSEP KEKHALIFAHAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Klasik dan Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, MA.,MA.




Disusun oleh:
Hanif Rahmat
M. Arsyad Haikal
Dzulfikar


PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011/2012



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam banyak literatur sejarah, Dinasti Abbasiyah ditulis sebagai dinasti Islam yang paling berhasil dalam sejarah peradaban Islam. Banyak prestasi yang diraih oleh kaum muslim di bawah naungan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini, terutama pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini pula Islam meraih peringkat golden age, masa keemasan.
Dalam pada itu, ada hal yang menarik untuk dibahas dari sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah. Dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mansur yang menggelari dirinya dengan khalifatullah fi ardihi --bukan seperti khalifah-khalifah sebelumnya yang menyandang gelar ”pengganti khalifah”-- maka khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah kemudian bergelar khalifatullah fi ardihi. Dengan gelar khalifatullahi ini, para khalifah Dinasti Abbasiyah tidak memerlukan rakyat, tapi rakyat yang membutuhkan khalifah.
Berangkat dari hal tersebut, kami memberikan judul untuk makalah yang kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran dan Peradaban Klasik ini dengan ”Berdirinya Dinasti Abbasiyah Dalam Konsep Kekhalifahan”.
Adapun agar permasalahan tidak terlalu meluas, kami membatasi permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini dengan dua poin, yaitu mengenai asal usul Dinasti Abbasiyah dan karakteristik serta konsep kekhalifahan pada masa Dinasti Abbasiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.                     Dinasti Abbasiyah
Suatu hari, sekitar 120 H, seorang pria misterius masuk ke dalam kota Merv. Pos terdepan kekaisaran ini terletak hampir seribu lima ratus mil sebelah timur Damaskus. Di sini di alam Timur yang liar, orang asing ini mulai meniupkan kegelisahan terhadap Bani Umayah dengan menyebarkan narasi milenial agama yang berbicara tentang akan datangnya pertikaian apokaliptik antara yang baik dan yang jahat.
Tidak ada yang tahu banyak tentang orang ini, bahkan tentang nama yang sebenarnya. Dia pernah disebut sebagai Abu Muslim, tetapi itu jelas sebuah nama samaran, karena itu adalah singkatan untuk Muslim Abu Muslim ibn Muslim, yang berarti “muslim laki-laki, putra seorang ayah muslim, ayah dari seorang anak laki-laki muslim”. Seperti yang dapat kita lihat, orang ini sedang berusaha keras untuk menegaskan bahwa dirinya memiliki indentitas muslim yang tidak perlu diragukan.
Sebenarnya, Abu Muslim adalah seorang revolusioner profesional yang dikirim ke Merv oleh sebuah kelompok bawah tanah rahasia yang berbasis di Iraq, sebuah kelompok yang disebut Hasyimiyah. Kelompok ini merupakan persilangan antara kultus dan partai politik yang anggota intinya mungkin tidak pernah melebihi tiga puluh. Namanya mengacu pada klan Nabi, Bani Hasyim, dan tujuannya, diduga, adalah untuk menempatkan anggota keluarga Nabi di puncak dunia muslim. Ini hanyalah salah satu dari banyak kelompok kecil anti pemerintahan yang aktif pada saat itu (Bani Umayah), semuanya menyerukan beberapa versi dari pesan yang sama: masyarakat telah keluar dari jalur, sejarah telah meleset dari jalannya, misi Rasul telah dibelokkan, dan menumbangkan Dinasti Umayah serta memberdayakan anggota keluarga Nabi untuk menggantikan mereka akan mengembalikan segalanya ke jalur yang benar lagi.
Sayangnya untuk Hasyimiyah, mereka tidak punya anggota yang benar-benar berasal dari keluarga Nabi untuk dipromosikan. Namun mereka memiliki Abu Al-Abbas, seseorang yang mengaku sebagai keturunan Abbas ibn Abd. Al-Muththalib, salah seorang paman Nabi Muhammad SAW, jadi setidaknya dia paling dekat terkait dengan Nabi melalui hubungan darah dan, yang lebih penting, bersedia meminjamkan namanya kepada perjuangan Hasyimiyah.
Paman leluhur yang dimaksudkan, Abbas yang asli, termasuk di antara orang yang paling akhir memeluk agama Islam, dan pada masanya, cukup tidak menyenangkan, tidak ada seorangpun yang menganggap dia kandidat untuk menggantikan Muhammad SAW, sehingga dia bukanlah leluhur ideal bagi sebuah gerakan revolusioner puritan. Seorang keturunan langsung Ali dan Fathimah pasti akan lebih baik, tapi tidak ada seorangpun Aliyyah -artinya, yang nyata maupun yang diduga keturunan Ali- bersedia bekerja sama dengan Hasyimiyah, jadi Abu Al-Abbas pun cukuplah.
Abu Muslim tidak punya banyak kesulitan untuk memanfaatkan ketidakpuasan Syi’ah dan Persia yang bergolak di Khurasan, provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan. Pada titik-titik kunci dalam pidato-pidatonya, Abu Muslim menjadi sedikit kabur tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah revolusi berhasil. Mereka yang merindukan keturunan Ali dapat membayangkan bahwa sosok seperti itu sedang menunggu di pinggiran, diam tanpa nama untuk saat itu hanya demi alasan keamanan.
Berani, tanpa ampun, dan kharismatik, Abu Muslim dengan cepat meninggalkan perannya sebagai agen dan muncul sebagai pemimpin revolusi Abbasiyah (dinamakan demikian karena pemimpinnya adalah Abu al-Abbas). Di Khurasan, Abu Muslim merekrut kader revolusioner, melatih mereka untuk berperang, dan menjejali mereka dengan doktrin Hasyimiyah. Para pengikutnya bisa dikenali melalui pakaian hitam yang mereka kenakan dan panji hitam yang mereka bawa. Mereka bahkan mengecat hitam senjata mereka. Tentara Umayah, kebetulan mengambil warna putih.
Pada 125 H (747 M), Abu Muslim dan para prajurit berseragam hitamnya mulai bergerak ke barat. Mereka menghadapi perlawanan kecil melewati wilayah Persia, tempat kebanyakan orang sangat ingin membantu menggulingkan Umayah yang sombong. Pada kenyataannya mereka memperoleh anggota baru dan momentum saat mereka berbaris melewatinya.
Pada 750 M, tentara putih dan hitam bentrok di tepi sungai Dzab Besar di Iraq. Meski kalah jumlah, pasukan hitam memukul mundur pasukan kaisar, dan khalifah Umayah terakhir harus lari menyelamatkan nyawa, ke Mesir di selatan; pada tahun yang sama, agen-agen Abbasiyah memburunya ke sana lalu membunuhnya.
Hasyimiyah menyatakan Abbas sebagai khalifah baru Islam. Tidak ada yang benar-benar berkomentar terhadap proses yang baru saja terjadi: itu bukan merupakan akibat tidak terelakkan yang ditentukan oleh Allah, bukan pula hasil pemilihan, atau bahkan sebuah keputusan yang dibuat oleh dewan orang bijak. Tidak, khalifah baru itu ditempatkan di tampuk kekuasaan oleh satu orang dengan sebuah geng pasukan yang terorganisasi tepat. Itu tidak jadi masalah. Kepemimpinan kembali di tempat semestinya pada akhirnya, di tangan anggota keluarga Nabi. Sekarang, akhirnya, proyek sosial Islam dapat kembali ke jalurnya (Tamim Ansary, 2011: 151-154)
Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd. al-Muththalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa untuk melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah.
Saat kekhalifahan Umayah dipegang Umar ibn Abd. Al-Aziz, gerakan bawah tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan secara terbuka. Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan kebijakan “Machiavellian” model Umayah adalah para pengikut Nabi dan keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’atu Ali maupun Syi’atu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya kekhalifahan Abbasiyah. (Karim, 2009: 143)
Berdirinya Bani Abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada Khalifah Hisyam ibn Abd. al-Malik, muncul kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd. al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun:
a. Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim Al-Alman
c. keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari golongan syi’ah dan kaum mawali yang merasa di kelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Pada waktu itu ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran, akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah Dinasti Umayyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu berdirilah kekuasaan dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW,. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. (Yatim, 2008: 49)
Masa Dinasti Abbasiyah merupakan awal kemunduran bagi umat Islam, setelah lebih dari lima abad (132-656 H/750-1258 M) mampu membentuk dan mengembangkan kebudayaan Islam hingga mampu membawa peradaban yang tinggi dan mengalami kejayaan di bawah pemerintahan Daulah Abbasiyah (Munthoha, 2009: 35).

B.                      Karakteristik serta Konsep Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
Seperti halnya Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiyah, terdapat karakter dan cirri khas yang istimewa, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.                       Pemerintahan orang Abbasiyah dinyatakan sebagai Daulah (era baru). Khalifah pertama, Saffah, karena tidak percaya dengan orang-orang Kufah yang pernah berkhianat kepada cucu Nabi SAW, Husein bin Ali, maka ia menggunakan Hammam ‘Ain sebagi tempat tinggal dan ibu kota Abbasiyah, tidak lama kemudian pindah ke Hira, selanjutnya pindah lagi ke gedung Hasyimiyah. Setelah ia wafat, adiknya, al-Mansur membangun kota baru di desa Baghdad. Sejak itu kota tersebut menjadi ibu kota resmi Dinasti Abbasiyah. Dengan demikian peranan dan pengaruh Arab melalui Damaskus (Syam) sebagai pusat pemerintahan Islam berangsur-angsur berkurang dan beralih ke Baghdad yang oleh Bani Umayah sudah dibangun lebih dari seratus tahun (sejak Muawiyah periode Umar I).
2.                       Dengan berdirinya Abbasiyah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan dikuasai/dipengaruhi  mawali, serta diskriminasi Arab atas mawali hilang. Dengan demikian, Islam muncul dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperang untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem pemerintahan Persia.
3.                       Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan non-Arab, sedang jaman Umayah adalah Arab murni yang sangat peka terhadap suku Arab (Quraisy), sedangkan pada periode Abbasiyah di samping orang Quraisy, orang Khurasan, dan dari daerah-daerah lain elit tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sacral dan hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia Islam dan merekalah yang menundukkan kembali Islam dalam posisi yang benar.
4.                       Corak pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.                       Islam tersebar dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang pada masa Abbasiyah satu sisi orang Islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan Islam terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andalusia (756 M) dari kekuasaan Abbasiyah dengan berdirinya (929 M) kekhalifahan Umayah II di Andalusia dan kekhalifahan Fatimiyah (909 M) di Afrika. Puncak kejayaan daulah ini terjadi pada masa Khalifah Harun dan puteranya, Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga masa Mutawakkil. Pada masa Harun, kekayaan negara yang banyak, sebagian besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran, farmasi, dan sebagainya. Sementara pada masa Ma’mun, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, statistika, geografi, dan filsafat. Di samping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqah di dalamnya. Pada masanya, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Karim, 2009: 179-181)





BAB III
KESIMPULAN

1.                       Dinasti Abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H, didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Dinasti Abbasiyah berdiri dengan menghancurkan Dinasti Umayah pada peperangan di Dzab.
2.                       Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman al-khalifahurrasyidun. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur  “Saya adalah sultan Tuhan diatas bumiNya“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a.              para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali,
b.             kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan,
c.              ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia,
d.             kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya, dan
e.              para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Ansary, Tamim. Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman press. 2010.
Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: Pustaka Book Publisher. 2009.
………….  Islam di Asia Tengah. Jogjakarta: Bagaskara press. 2006.
Munthoha. Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: UII Press. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2008. 


Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger