DINASTI ABBASIYAH DALAM
KONSEP KEKHALIFAHAN
Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Klasik dan
Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, MA.,MA.
Disusun oleh:
Hanif Rahmat
M. Arsyad Haikal
Dzulfikar
PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam banyak
literatur sejarah, Dinasti Abbasiyah ditulis sebagai dinasti Islam yang paling
berhasil dalam sejarah peradaban Islam. Banyak prestasi yang diraih oleh kaum
muslim di bawah naungan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah. Ilmu pengetahuan dan
kebudayaan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini,
terutama pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini pula Islam meraih
peringkat golden age, masa keemasan.
Dalam pada itu, ada
hal yang menarik untuk dibahas dari sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah. Dimulai
sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mansur yang menggelari dirinya dengan khalifatullah
fi ardihi --bukan seperti khalifah-khalifah sebelumnya yang menyandang
gelar ”pengganti khalifah”-- maka khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah kemudian
bergelar khalifatullah fi ardihi. Dengan gelar khalifatullahi ini,
para khalifah Dinasti Abbasiyah tidak memerlukan rakyat, tapi rakyat yang
membutuhkan khalifah.
Berangkat dari hal
tersebut, kami memberikan judul untuk makalah yang kami susun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran dan Peradaban Klasik ini dengan
”Berdirinya Dinasti Abbasiyah Dalam Konsep Kekhalifahan”.
Adapun agar
permasalahan tidak terlalu meluas, kami membatasi permasalahan yang kami bahas
dalam makalah ini dengan dua poin, yaitu mengenai asal usul Dinasti Abbasiyah dan
karakteristik serta konsep kekhalifahan pada masa Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dinasti
Abbasiyah
Suatu hari, sekitar 120 H, seorang pria misterius
masuk ke dalam kota Merv. Pos terdepan kekaisaran ini terletak hampir seribu
lima ratus mil sebelah timur Damaskus. Di sini di alam Timur yang liar, orang
asing ini mulai meniupkan kegelisahan terhadap Bani Umayah dengan menyebarkan
narasi milenial agama yang berbicara tentang akan datangnya pertikaian
apokaliptik antara yang baik dan yang jahat.
Tidak ada yang tahu banyak tentang orang ini, bahkan
tentang nama yang sebenarnya. Dia pernah disebut sebagai Abu Muslim, tetapi itu
jelas sebuah nama samaran, karena itu adalah singkatan untuk Muslim Abu Muslim
ibn Muslim, yang berarti “muslim laki-laki, putra seorang ayah muslim, ayah
dari seorang anak laki-laki muslim”. Seperti yang dapat kita lihat, orang ini
sedang berusaha keras untuk menegaskan bahwa dirinya memiliki indentitas muslim
yang tidak perlu diragukan.
Sebenarnya, Abu Muslim adalah seorang revolusioner
profesional yang dikirim ke Merv oleh sebuah kelompok bawah tanah rahasia yang
berbasis di Iraq, sebuah kelompok yang disebut Hasyimiyah. Kelompok ini
merupakan persilangan antara kultus dan partai politik yang anggota intinya
mungkin tidak pernah melebihi tiga puluh. Namanya mengacu pada klan Nabi, Bani
Hasyim, dan tujuannya, diduga, adalah untuk menempatkan anggota keluarga Nabi
di puncak dunia muslim. Ini hanyalah salah satu dari banyak kelompok kecil anti
pemerintahan yang aktif pada saat itu (Bani Umayah), semuanya menyerukan
beberapa versi dari pesan yang sama: masyarakat telah keluar dari jalur,
sejarah telah meleset dari jalannya, misi Rasul telah dibelokkan, dan menumbangkan
Dinasti Umayah serta memberdayakan anggota keluarga Nabi untuk menggantikan
mereka akan mengembalikan segalanya ke jalur yang benar lagi.
Sayangnya untuk Hasyimiyah, mereka tidak punya
anggota yang benar-benar berasal dari keluarga Nabi untuk dipromosikan. Namun
mereka memiliki Abu Al-Abbas, seseorang yang mengaku sebagai keturunan Abbas
ibn Abd. Al-Muththalib, salah seorang paman Nabi Muhammad SAW, jadi setidaknya
dia paling dekat terkait dengan Nabi melalui hubungan darah dan, yang lebih
penting, bersedia meminjamkan namanya kepada perjuangan Hasyimiyah.
Paman leluhur yang dimaksudkan, Abbas yang asli,
termasuk di antara orang yang paling akhir memeluk agama Islam, dan pada
masanya, cukup tidak menyenangkan, tidak ada seorangpun yang menganggap dia kandidat
untuk menggantikan Muhammad SAW, sehingga dia bukanlah leluhur ideal
bagi sebuah gerakan revolusioner puritan. Seorang keturunan langsung Ali
dan Fathimah pasti akan lebih baik, tapi tidak ada seorangpun Aliyyah -artinya,
yang nyata maupun yang diduga keturunan Ali- bersedia bekerja sama dengan
Hasyimiyah, jadi Abu Al-Abbas pun cukuplah.
Abu Muslim tidak punya banyak kesulitan untuk
memanfaatkan ketidakpuasan Syi’ah dan Persia yang bergolak di Khurasan,
provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan. Pada titik-titik kunci
dalam pidato-pidatonya, Abu Muslim menjadi sedikit kabur tentang siapa yang
akan menjadi khalifah setelah revolusi berhasil. Mereka yang merindukan
keturunan Ali dapat membayangkan bahwa sosok seperti itu sedang menunggu di
pinggiran, diam tanpa nama untuk saat itu hanya demi alasan keamanan.
Berani, tanpa ampun, dan kharismatik, Abu Muslim
dengan cepat meninggalkan perannya sebagai agen dan muncul sebagai pemimpin
revolusi Abbasiyah (dinamakan demikian karena pemimpinnya adalah Abu al-Abbas).
Di Khurasan, Abu Muslim merekrut kader revolusioner, melatih mereka untuk
berperang, dan menjejali mereka dengan doktrin Hasyimiyah. Para pengikutnya
bisa dikenali melalui pakaian hitam yang mereka kenakan dan panji hitam yang
mereka bawa. Mereka bahkan mengecat hitam senjata mereka. Tentara Umayah,
kebetulan mengambil warna putih.
Pada 125 H (747 M), Abu Muslim dan para prajurit
berseragam hitamnya mulai bergerak ke barat. Mereka menghadapi perlawanan kecil
melewati wilayah Persia, tempat kebanyakan orang sangat ingin membantu
menggulingkan Umayah yang sombong. Pada kenyataannya mereka memperoleh anggota
baru dan momentum saat mereka berbaris melewatinya.
Pada 750 M, tentara putih dan hitam bentrok di tepi
sungai Dzab Besar di Iraq. Meski kalah jumlah, pasukan hitam memukul mundur
pasukan kaisar, dan khalifah Umayah terakhir harus lari menyelamatkan nyawa, ke
Mesir di selatan; pada tahun yang sama, agen-agen Abbasiyah memburunya ke sana
lalu membunuhnya.
Hasyimiyah menyatakan Abbas sebagai khalifah baru
Islam. Tidak ada yang benar-benar berkomentar terhadap proses yang baru saja
terjadi: itu bukan merupakan akibat tidak terelakkan yang ditentukan oleh
Allah, bukan pula hasil pemilihan, atau bahkan sebuah keputusan yang dibuat
oleh dewan orang bijak. Tidak, khalifah baru itu ditempatkan di tampuk
kekuasaan oleh satu orang dengan sebuah geng pasukan yang terorganisasi tepat.
Itu tidak jadi masalah. Kepemimpinan kembali di tempat semestinya pada
akhirnya, di tangan anggota keluarga Nabi. Sekarang, akhirnya, proyek sosial
Islam dapat kembali ke jalurnya (Tamim Ansary, 2011: 151-154)
Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah
seorang paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd. al-Muththalib
ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa
menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk
mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa untuk
melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah.
Saat kekhalifahan Umayah dipegang Umar ibn Abd.
Al-Aziz, gerakan bawah tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan
secara terbuka. Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan kebijakan
“Machiavellian” model Umayah adalah para pengikut Nabi dan keturunan Bani
Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda mereka tidak menyebutkan diri
sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan
demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’atu Ali maupun Syi’atu
Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya
kekhalifahan Abbasiyah. (Karim, 2009: 143)
Berdirinya Bani Abbasiyah dikarenakan pada masa
pemerintahan Bani Umayah, yakni pada Khalifah Hisyam ibn Abd. al-Malik, muncul
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd. al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun:
a. Bani
Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b. Bani
Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim Al-Alman
c. keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu
Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan.
Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari golongan syi’ah dan kaum mawali yang
merasa di kelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Pada waktu itu ada
beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada
kehancuran, akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah Dinasti Umayyah dengan
terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu
berdirilah kekuasaan dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW,. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H selama berkuasa
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya. (Yatim, 2008: 49)
Masa Dinasti
Abbasiyah merupakan awal kemunduran bagi umat Islam, setelah lebih dari lima
abad (132-656 H/750-1258 M) mampu membentuk dan mengembangkan kebudayaan Islam
hingga mampu membawa peradaban yang tinggi dan mengalami kejayaan di bawah
pemerintahan Daulah Abbasiyah (Munthoha, 2009: 35).
B.
Karakteristik
serta Konsep Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
Seperti halnya
Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiyah, terdapat karakter dan cirri
khas yang istimewa, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.
Pemerintahan
orang Abbasiyah dinyatakan sebagai Daulah (era baru). Khalifah pertama,
Saffah, karena tidak percaya dengan orang-orang Kufah yang pernah berkhianat
kepada cucu Nabi SAW, Husein bin Ali, maka ia menggunakan Hammam ‘Ain
sebagi tempat tinggal dan ibu kota Abbasiyah, tidak lama kemudian pindah ke
Hira, selanjutnya pindah lagi ke gedung Hasyimiyah. Setelah ia wafat, adiknya, al-Mansur
membangun kota baru di desa Baghdad. Sejak itu kota tersebut menjadi ibu kota
resmi Dinasti Abbasiyah. Dengan demikian peranan dan pengaruh Arab melalui
Damaskus (Syam) sebagai pusat pemerintahan Islam berangsur-angsur berkurang dan
beralih ke Baghdad yang oleh Bani Umayah sudah dibangun lebih dari seratus
tahun (sejak Muawiyah periode Umar I).
2.
Dengan
berdirinya Abbasiyah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan
dikuasai/dipengaruhi mawali,
serta diskriminasi Arab atas mawali hilang. Dengan demikian, Islam
muncul dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperang
untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan
penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem
pemerintahan Persia.
3.
Pemerintahan
Abbasiyah adalah pemerintahan non-Arab, sedang jaman Umayah adalah Arab murni
yang sangat peka terhadap suku Arab (Quraisy), sedangkan pada periode Abbasiyah
di samping orang Quraisy, orang Khurasan, dan dari daerah-daerah lain elit
tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah
beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sacral dan
hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia Islam dan
merekalah yang menundukkan kembali Islam dalam posisi yang benar.
4.
Corak
pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang
menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak
tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.
Islam tersebar
dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang pada masa
Abbasiyah satu sisi orang Islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal
kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan Islam
terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andalusia (756 M) dari kekuasaan
Abbasiyah dengan berdirinya (929 M) kekhalifahan Umayah II di Andalusia dan
kekhalifahan Fatimiyah (909 M) di Afrika. Puncak kejayaan daulah ini terjadi
pada masa Khalifah Harun dan puteranya, Ma’mun serta khalifah-khalifah
sesudahnya hingga masa Mutawakkil. Pada masa Harun, kekayaan negara yang
banyak, sebagian besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti
mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran, farmasi, dan
sebagainya. Sementara pada masa Ma’mun, ia gunakan untuk menggaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah
binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa
Arab, serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan
akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai
cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, statistika, geografi, dan filsafat.
Di samping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari
berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqah di dalamnya. Pada
masanya, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Karim,
2009: 179-181)
BAB III
KESIMPULAN
1.
Dinasti Abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H,
didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
Al-Abbas. Dinasti Abbasiyah berdiri dengan menghancurkan Dinasti Umayah pada
peperangan di Dzab.
2.
Pada zaman
Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman al-khalifahurrasyidun. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas bumiNya“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman al-khalifahurrasyidun. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas bumiNya“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a.
para Khalifah
tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali,
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali,
b.
kota Baghdad
digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi
sosial dan kebudayaan,
c.
ilmu pengetahuan
dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia,
d.
kebebasan
berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya, dan
e.
para menteri
turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintahan.
dalam pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Ansary,
Tamim. Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman
press. 2010.
http://pandidikan.blogspot.com/2010/04/sejarah-dinasti-abbasiyah.html,
diakses pada 1 Desember 2011.
http://helmywhy.wordpress.com/2011/03/30/dinasti-bani-abbasiyah-2/,
diakses pada 1 Desember 2011.
Karim,
Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: Pustaka Book
Publisher. 2009.
…………. Islam di Asia Tengah. Jogjakarta:
Bagaskara press. 2006.
Munthoha.
Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: UII Press. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2008.
Thanks for reading Dinasti Abbasiyah: Konsep Kekhalifahan
No comments:
Post a Comment