Saturday, June 28, 2014

RAMADHANKU

RAMADHANKU

June 28, 2014
RAMADHANKU
Hanif Rahmat

Ramadhanku
Kau lah bulanku
Kau lah bulan ummat bagindamu
Muhammad saw. Rasulku
Kau lah kerinduanku
Kau lah kerinduan alam sepanjang tahun
Kau lah bulan kerinduanku
Tapi ada tanyaku
Kau kah yang di sana menantiku
Dan aku di sini mendatangimu
Atau aku di sini menantimu
Lantas kau dari sana menghampiriku
Tapi ku buang tanyaku
Karena bahagia berjuma denganmu
Kau lah bulan nan suci
Noda-noda ku tak kan melukai kesucianmu
Karena engkau Ramadhanku
Ramadhanku tetaplah suci
Sampai nanti
Sampai izrail menjemputku
Atau aku menjemput izrail
Ramadhan mereka tak sesuci ramadhanku
Mereka mengotori dengan noda hatinya
Mengotori dengan lisannya, tangannya, dan kakinya
Mengotori dengan pikiran dan nafsunya
Kau tetaplah suci, Ramadhanku
Ramadhan mereka lebih suci daripada Ramadhanku
Ramadhan mereka dihiasi lantunan al-Quran
Dihiasi lisan suci, pikiran jernih, hati murni
Ramadhan mereka diisi ketakwaan
Ketakutan pada Tuhanmu juga Tuhanku
Pemegang kuasa seluruh alam
Ramadhanku
Ramadhanku tetaplah suci
Meski hatiku rapuh
Meski hatiku ternodai nafsu
Meski lisan tak terjaga
Meski pikiran terpikat dunia
Padahal seringainya menyesalkan hidupku
Ramadhanku
Temui aku
Atau aku menemuimu
Ramadhanku
Tetaplah suci
Tetaplah murni
Izinkan aku sesuci dirimu
Izinkan hatiku semurni dirimu

Segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menciptakan Ramadhan, menyucikannya, dan mempersembahkannya bagi kita semua dengan segenap kesuciannya. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada baginda junjunan alam, Nabi Muhammad saw. yang suci hatinya, serta menyucikan hati seluruh ummatnya yang taat kepadanya.
Bulan Ramadhan merupakan bulan kebahagiaan bagi setiap mukmin sejati. Bulan yang dirindukan setiap manusia yang peduli rasa lapar dan kedermawanan. Bulan yang disucikan oleh Allah SWT. Mengapa bulan ini disucikan dan dirindukan? Bulan ini adalah bulan yang setiap mukmin diwajibkan menunaikan ibadah shaum satu bulan penuh. Menahan diri dari menunaikan kebutuhan perut dan sesuatu di bawahnya. Menahan diri dari mengotori isi hati dan pikiran.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang memberikan keberkahan bagi seluruh orang yang beriman. Di Bulan Ramadhan, seluruh amal baik dilipatgandakan pahalanya. Seluruh amal buruk dilipatgandakan dosanya. Namun, pintu ampunan dibuka selebar-lebarnya bagi orang yang memohon ampunan dengan sebenar-benarnya dan dengan kesungguhan hatinya. Bulan ini memberikan kesempatan bagi pemiliknya untuk memiliki substansi amal yang lebih baik dari seribu bulan. Dengan keterbatasan usia manusia, bulan ini menawarkan pilihan yang sangat menggiurkan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Ia, Ramadhan, milik siapapun itu, menawarkan satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, daripada seratus tahun kehidupan. Pemilik Ramadhan yang baik tidak akan menyianyiakan kesempatan itu. Ia akan beribadah setiap malam demi meraih tawaran yang menggiurkannya untuk bekal di kehidupan akhirat nanti.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang hanya diberikan kepada ummat Muhammad saw. Bulan yang sungguh istimewa dan luar biasa. Ganjaran setiap amalan sunnah sebanding dengan amalan wajib. Ganjaran setiap amalan wajib dilipatgandakan tujuh puluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan ribuan kali lipat. Tapi ingat, setiap amal ditentukan baik buruknya, diterima atau tidaknya di sisi Allah, hanya dengan niatnya.
Bulan Ramadhan adalah hal terindah yang dipersembahkan Allah kepada ummat Nabi Muhammad saw. Seandainya orang tahu pahala yang ada di bulan Ramadhan, mereka pasti ingin sepanjang tahun adalah Ramadhan semua. Nabi saw. telah menegaskan bahwa Ramadhan adalah bulan seluruh mukmin di dunia. Orang-orang mukmin lah pemiliknya.
Bulan Ramadhan, apakah kita sudah layak memilikinya? Apakah kita telah bahagia memilikinya? Apakah kita merasa senang berjumpa dengannya? Apakah kita merasa memiliki Ramadhan? Apakah kita orang mukmin yang bisa menjaga Ramadhan? Apa yang biasa kita lakukan terhadap sesuatu yang menjadi milik kita?
Bulan Ramadhan. Mengapa banyak manusia tidak menyadari kemuliaannya?
Kita diberi kehidupan di dunia ini tidak lain untuk mempersiapkan bekal mengarungi perjalanan akhirat nanti, yang cukup membawa kita menuju syurga. Jika tidak cukup, maka tinggallah neraka tempat kembalinya. “Percuma hidup di dunia jika nanti tidak masuk syurga”, demikian seorang shalih berkata.
Nabi menjamin ummatnya, bahwa orang yang taat melakukan shaum, ia akan masuk syurga melalui pintu yang disediakan khusus untuk orang yang taat melaksanakan shaum, yakni ar-Rayyan.
Bulan Ramadhan adalah momentum yang baik untuk melaksanakan ibadah shaum. Di bulan ini, ibadah shaum diwajibkan. Bayangkan, ibadah sunnah saja pahalanya seperti ibadah wajib, apadalgi ibadah wajib, pahalanya berlipat sampai tak terhingga banyaknya.
Oleh karena itu, jika secara lahir atau fiqih kita bisa melaksanakan ibadah shaum, atau ibadah-ibadah lainnya dengan baik, maka liriklah hati, apakah niatnya sudah ikhlas atau belum. Apakah amal sehari-hari merusak amal ibadah shaumnya atau tidak.
Sebaliknya, jika sudah memiliki niat yang baik, mulailah untuk mempelajari tata cara beribadah yang baik dan lebih baik, agar amal yang dilakukan sempurna dan tidak sia-sia.
Sederhana saja, jika kita beramal, yakinkah amal itu siap dan layak disajikan di hadapan Allah kelak sebagai pembela? Atau malah amal itu menjadi bumerang ketika dipersembahkan kepada-Nya di pengadilan nanti?
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Hanif Rahmat

Santri Pondok Pesantren UII

Thursday, June 5, 2014

Suu’u azh-Zhan bi al-Qalbi

Suu’u azh-Zhan bi al-Qalbi

June 05, 2014

يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang  (Q.S. Al-Hujurat, 49: 12).

Buruk Sangka (سوء الظن)
Suu’u azh-zhann, diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “suuzan”, terdiri dari dua kata dasar, yaitu suu’u (buruk, jelek) dan zhann (prasangka, dugaan kuat). Dalam Bahasa arab, zhonn merupakan sebuah dugaan yang memiliki proporsi keyakinan 75% dalam hati bahwa hal itu terjadi. Dengan kata lain, zhonn adalah ke-hampiryakin-an, bahkan mendekati keyakinan. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman, “ana ‘inda zhanni ‘abdii bii...”, “Aku berada pada keyakinan hamba-Ku kepada-Ku...”. Meskipun tidak 100% yakin, tetapi paling tidak seorang hamba mendekati yakin dengan mindset-nya tentang Allah SWT, maka Allah SWT akan memberikan apa yang ia yakini meskipun proporsi keyakinannya tidak sampai tetapi mendekati 100%. Berbeda dengan syakk  atau wahm. Syakk  merupakan keragu-raguan yang memiliki proporsi keyakinan sebesar 50% sedangkan wahm merupakan anggapan yang memiliki tingkat keyakinan 25%.
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menjelaskan bahwa suuzan (berprasangka buruk) tidak boleh (haram) dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana berkata buruk. Hanya saja, berkata buruk merupakan perbuatan lisan yang lahir dan secara eksplisit dapat diketahui oleh orang lain, sedangkan berprasangka buruk adalah perbuatan hati yang hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya, tetapi dampaknya bisa jadi dirasakan oleh orang lain. Akan tetapi, jika dalam hati hanya terdapat sebuah keraguan (syakk), kekhawatiran (khawathir), atau besitan hati (haditsun nafs), maka hal itu tidak apa-apa (dimaafkan). Ditegaskan kembali bahwa yang tidak boleh itu adalah buruknya zhonn terhadap orang lain.
Seringkali seseorang terjebak dalam prasangka buruk yang tidak sempat diklarifikasi bahkan ia tidak sadar bahwa ia telah berprasangka buruk. Mungkin tidak perlu dijelaskan lebih lebar lagi tentang pengertian suuzan. Yang terpenting dan sering luput dari pandangan orang adalah indikator seseorang terjebak dalam prasangka buruk kepada orang lain. Lantas, bagaimana mengidentifikasi suuzan dalam hati? Bilamana dugaan itu sudah menggumpal di hati sedangkan hati dirasa masih ragu-ragu dan belum memastikan apa yang sebenarnya terjadi?
Indikasi suuzan telah menggumpal dan dikukuhkan di hati ialah bahwasannya hati itu (subjek suuzan) berubah dari keadaan yang sedia kala dan biasa saja menjadi tidak biasa terhadap orang yang menjadi objek suuzan. Ketika hati si A yang tadinya biasa-biasa saja, kemudian karena keragu-raguan tentang si B lantas hatinya berubah terhadap si B, berarti si A sudah suuzan kepada si B. Jika sebelumnya si A tidak memiliki perasaan buruk kepada si B, namun kemudian hati si A tiba-tiba menjadi benci atau tidak suka terhadap si B, merasa enggan bertemu dengan si B, tidak terlalu peduli, berkurangnya rasa hormat kepada si B, dan tidak ada kepeduliah dan rasa kasihan pada si B yang menjadi objek suuzan, maka dapat diidentifikasi bahwa si A telah suuzan kepada si B meskipun si A tidak menyakiti si B atau tidak berbuat buruk kepada si B dengan perbuatannya . Adapun jika diimplementasikan dengan perbuatan, maka hal itu lebih buruk dari sekedar buruk sangka. Dengan demikian, ada negative thinking dalam diri si A tentang si B. Inilah indikasi bahwa seseorang sudah mengukuhkan dan menyatakan zhonn itu di hatinya, seakan-akan dugaan itu dianggap terjadi dalam kenyataan, dianggap riil.
Hal ini banyak terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari, misalnya dengan tetangga, dengan kerabat, dengan teman atau sahabat, dan lain sebagainya. Kabar miring yang terdengar atau kejadian aneh yang terlihat namun belum dipastikan dan diklarifikasi kebenaran serta tujuannya, maka hal itu bisa menjadi sebuah keraguan. Sebuah keraguan yang dikukuhkan dan menimbulkan kesan buruk di hati tentang orang lain, maka hal itu merupakan suuzan yang dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12,
...يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa…
Contoh konkrit yang terjadi dewasa ini, menjelang PEMILU 2014, ialah maraknya opini-opini tidak baik, untuk tidak mengatakan buruk, yang menyudutkan masing-masing calon presiden dan wakil presiden terutama yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Opini dan berita yang tersebar di media, kesan, dan pencitraan yang dikabarkan di media atau dari mulut ke mulut, menjadi momok tersendiri bagi citra moral bangsa Indonesia masa kini. Yang perlu digarisbawahi adalah, ketika kabar miring itu kita terima dan kita kukuhkan dalam hati sehingga menjadi suatu kebencian terhadap capres atau cawapres tertentu, itu menjadi indikator bahwa kita telah suuzan terhadap capres atau cawapres tersebut dan itu tidak baik bagi kondisi hati kita.
Hemat penulis, langkah terbaik yang seyogyanya kita ambil adalah menjadikan opini-opini atau fakta-fakta yang diberitakan sebagai suatu pertimbangan dalam memilih, bukan menjadi suatu kebencian bagi pihak yang berlawanan. Pilihlah dengan wajar, tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak yang bertolak belakang agar kondisi hati kita tetap terjaga.
Solusi
Rasulullah saw bersabda,
‏‏ثلاثة لا يسلم منهن أحد‏:‏ الطيرة، والظن، والحسد، فإذا تطيرت فلا ترجع، وإذاحسدت فلا تبغ، وإذا ظننت فلا تحقق‏ (أخرجه البيهقي)
Ada tiga hal yang mana seorang muslim tidak selamat dari tiga hal tersebut, yaitu thiyarah, suuzan, dan hasad. Lantas jika kamu bertathayyur maka lanjutkan saja, jika kamu hasad maka jangan menuntut atau bertindak buruk, dan jika kamu suuzan maka jangan dikukuhkan/diperkuat/dianggap nyata. (HR. Al-Baihaqi)
Rasul saw sudah mensinyalir bahwa setiap orang pasti bisa terjebak dalam tiga hal, thiyarah (tathayyur/kabar burung/termasuk juga takhayul), hasad, dan suuzan. Namun, Rasul saw pun memberikan cara untuk menghindarinya sebagai solusi bagi kita selaku umatnya. Yang menjadi fokus kali ini adalah, jika kita terjebak dalam suuzan, maka jangan sampai kita meyakinkan hati bahwa hal itu terjadi. Jika kita melihat seseorang melakukan hal yang tidak wajar, atau mendengar kabar yang kurang baik tentang orang lain, maka tidak seyogyanya kita langsung meyakini bahwa hal buruk telah terjadi. Tidak baik memprediksi bahwa hal itu adalah suatu kenyataan. Yang lebih baik dilakukan adalah memikirkan alternatif-alternatif yang positif untuk “mengamankan” hati kita dari perangkap syetan yakni suuzan.
Syetan kadang mengukir kuat dalam hati manusia sehingga melegitimasi indikator terkecil sekalipun dari keburukan orang lain. Padahal keburukan itu tidak seberapa, tetapi didramatisir oleh syetan sehingga hati meyakini bahwa orang yang menjadi objek suuzan itu telah melakukan keburukan sesuai dengan apa yang diduga oleh hati.
Syetan kemudian memberikan stigma, “Ini adalah kecerdasanmu, ini karena cepatnya pemahamanmu. Dengan sedikit indikator saja kamu sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi, betapa pintarnya kamu. Ini bukan suuzan tapi kamu yang cerdas. Kamu adalah mukmin dan kamu juga tahu kalau mukmin itu melihat dengan cahaya Allah.” Padahal nyatanya ia (orang yang suuzan) telah memandang orang lain (objek suuzan) dengan tipu daya syetan, tetapi syetan membuatnya terkesan baik. Begitulah, syetan menghiasi dosa dengan bunga dunia. Ternyata kita banyak tertipu oleh syetan. Allaahummaghfir lanaa.
Wallaahu a’lam.


                                                                                                Hanif Rahmat


al-Mutashawwif
KETUHANAN DAN KEHAMBAAN

KETUHANAN DAN KEHAMBAAN

June 05, 2014

Sejenak kita merenung dan mengintrospeksi mengenai apa yang telah kita lakukan di masa lampau. Apakah setahun yang lalu telah menjadi amal baik, sehari yang lalu kebaikan kita lebih banyak, apakah satu detik yang lalu telah menjadi kebaikan untuk kita, ataukah sebaliknya.
Ketika kita telah menjalani berbagai fase kehidupan, kadang –bahkan seringkali- kita merasa geer, keimanan kita goyah, tergoncang, khawatir, bimbang dan terganggu. Perjalanan hidup ini memang fluktuatif adanya. Tidak akan selamanya berada di bawah, pun di atas.
Dunia ini belum kiamat. Kita hanya baru melampaui satu fase kehidupan. Roda kehidupan akan terus berputar melaju tanpa henti. Begitupun dengan selesainya suatu masalah, tidak berarti berhenti sampai disana. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah melalui dan menjalani kehidupan ini sewajarnya seperti halnya manusia biasa. Tetap bersikap sadar dan ingat bahwa tugas kita tidak berubah. Tidak bertambah dan tidak berkurang, yakni menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Profesi apapun yang kita jalani, hal apapun yang kita lalui, masalah apapun yang kita hadapi, posisi kita sebagai manusia tetap menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Selamanya tidak akan berubah.
Allah SWT. berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Pemahaman dari ayat ini bukan berarti Allah SWT. menciptakan jin dan manusia karena Allah SWT. ingin disembah, melainkan Allah SWT. memberikan tugas kepada jin dan manusia agar menyembah-Nya semata. Jadi jelaslah bahwa penghambaan jin dan manusia kepada Allah SWT. merupakan konsekuensi dari penciptaan. Dengan kata lain, Allah SWT. menciptakan manusia bukan untuk mencari nikmat dunia, bukan untuk mencari tahta, bukan untuk mencari jabatan, dan lain sebagainya. Allah SWT. menciptakan manusia dan jin hanya supaya mereka menyembah-Nya.
Dari ayat tersebut pula kita dapat memahami secara lebih mendalam mengenai esensi kehambaan diri kepada Allah SWT., bahwa yang berhak disembah oleh jin dan manusia hanyalah Allah SWT.. Seakan-akan Allah SWT. berkata melalui ayat itu, “karena Aku yang menciptakan jin dan manusia, maka hanya kepada-Ku lah mereka harus menyembah”. Jika yang menciptakan jin dan manusia adalah Allah SWT., masa yang kita sembah malah uang, pekerjaan, jabatan, syetan, hawa nafsu, keinginan, dan kebencian belaka. Maukah kita jika disebut hamba uang sebagaimana dalam judul lagu Iwan Fals? Ataukah hamba nafsu? Tentu tidak.
Oleh karena itu, niatkanlah setiap amal kita sebagai ajang ibadah kepada Allah SWT. semata. Memang dalam al-Qur’an maupun hadits tidak ada perintah untuk menjadi sopir angkot –misalnya-, namun jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT. untuk mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan ladang usaha yang dapat dilakukan adalah menjadi sopir angkot, maka menjadi sopir angkot itulah yang menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan kepada Allah SWT..
Jadi, apapun yang kita lakukan hendaklah dilandasi dengan niat menghambakan diri kepada Allah SWT.. Baik itu dalam hal sosial, politik, budaya, makan, minum, dan segala hal yang kita lakukan. Dengan kesadaran seperti itu, maka tidak akan ada celah untuk terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT., karena tidak mungkin hal-hal yang dilarang menjadi sarana untuk mengabdi kepada-Nya.
Implementasi Penghambaan
Sikap pengabdian diri kepada Allah SWT. tentu akan menganggap Allah SWT. sebagai satu-satunya Tuhan yang mengatur dan merekayasa semuanya. Namun ketika seseorang merasa dan menganggap dirinya lah yang mengatur kehidupan ini, maka akan terjangkit penyakit sombong dalam dirinya, dan secara tidak langsung ia telah menjadi tuhan kecil dalam kehidupannya.
Kisah menarik tentang Qarun pada zaman Nabi Musa a.s. Ia adalah seorang yang kaya raya. Kunci gudang-gudang kekayaannya dipikul oleh unta-untanya. Ia sangat pintar. Ia adalah penghafal kitab Taurat ketiga setelah Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. Betapa pintar dan kayanya ia. Namun, ia merasa bahwa kekayaan itu ia dapat karena kepintarannya. Yang terbesit di benaknya adalah, “pantas saja aku kaya, kan aku pintar”. Ia telah bersikap arogan dan sombong. Sedangkan kesombongan adalah selendang Allah SWT., hanya milik Allah SWT.. Tidak akan pantas jika seorang hamba memakai selendang Tuhan.
Karena perbuatan yang keji dan sikap yang sombong itulah akhirnya Qarun ditenggelamkan dalam bumi sebagai hukuman di dunia dan dijamin masuk neraka sebagai hukuman di akhirat kelak.
Maka janganlah kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil yang membanggakan apa yang ada pada diri kita dan mengklaim bahwa dengan kekuatan dan kekuasaan kitalah hal itu dapat tercapai.
Selain tidak menjadi tuhan-tuhan kecil, implementasi penghambaan diri kita kepada Allah SWT. ialah dengan tidak menghambakan diri kepada selain Allah SWT.. Tatkala kita melakukan aktivitas apapun yang legal, yakni yang mubah, sunnah, dan wajib, harus dilandasi oleh niat lillaah (untuk Allah SWT.), tidak untuk selain-Nya. Yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, nadzar, dan lain sebagainya, sudah barang tentu harus dilaksanakan, entah itu dengan niat hanya menggugurkan kewajiban, karena takut neraka dan ingin masuk syurga, atau karena kesadaran diri yang mendalam sebagai seorang hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Allah SWT.. Begitupun yang sunnah, hal-hal yang dianjurkan oleh syariat, dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Tuhannya. Adapun hal-hal yang mubah, boleh dilakukan dan boleh juga tidak, dijadikan sarana untuk meraih suatu tujuan yang mulia yakni mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Makan dan minum merupakan sesuatu yang mubah. Namun jika makan dan minum itu dimaksudkan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan sehingga dengan sehat kita dapat senantiaasa beribadah kepada Allah SWT., maka makan dan minum itu menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Karena hal apapun yang mubah selalu dijadikan sarana atau alat untuk meraih tujuan, sehingga esensinya pun sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.
“Barangsiapa mengenal dirinya, tentu ia mengenal Tuhannya”. Barangsiapa menyadari dirinya sebagai hamba, tenti ia menyadari Allah SWT. sebagai Tuhannya. Tuhan bukan tuan. Seorang tuan membutuhkan hambanya untuk membantu membuat makanan, untuk mencuci piring, untuk membersihkan mobil, dan lain sebagainya, sebagai ekspresi pengabdiannya. Namun lain halnya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah membutuhkan hamba untuk mencarikan makan atau harta. Justru Tuhan lah yang memberikan hamba rizki dan kenikmatan. Lantas, bagaimana kita sebagai hamba harus mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT. sebagai Tuhan?
Esensi Kehambaan
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. dengan memurnikan ketaatan/niat hanya untuk-Nya dan dengan lurus (sesuai dengan tuntutan)”. Q.S. Al-Bayyinah : 5.
Dari ayat tersebut, setidaknya ada dua aspek yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT., yakni ikhlash (memurnikan pengabdian/penghambaan hanya untuk Allah SWT.) dan hanif (sesuai dengan tuntutan syariat). Ikhlas dalam aspek ini berarti memurnikan niat kita untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT.. Tidak untuk yang lainnya. Shalat kita niatkan murni untuk Allah SWT., bukan untuk dilihat orang. Shadaqah murni untuk Allah SWT., bukan untuk dipuji orang. Bekerja murni untuk Allah SWT., bukan untuk kesenangan dan jabatan.
Aspek kedua yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT. adalah hanif, yakni tatacaranya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT.. Jika kita shalat dengan niat murni karena Allah SWT. namun tatacaranya tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan, tentu pengabdiannya tidak akan diterima. Begitupun dengan zakat, puasa, dan amal-amal lain yang telah ada ketentuan mengenai tatacaranya.

Dengan mengekspresikan penghambaan diri kepada Tuhan, maka kita telah melaksanakan hakikat tugas sebagai manusia, karena menghambakan diri kepada Allah SWT. merupakan suatu kemestian dan keniscayaan. Begitupun Allah SWT., satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Bagaimana tidak, Dialah yang menciptakan seluruh alam, termasuk manusia. Dengan kata lain, sadarilah bahwa diri ini hanyalah hamba, sehingga akan timbul kesadaran bahwa Allah lah Tuhan Yang Maha Esa.
RIDHA

RIDHA

June 05, 2014

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّه
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.  (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)

Suatu ketika Nabi Musa a.s. berdo’a kepada Allah SWT., “Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang mana pabila aku melakukannya maka Engkau meridhaiku karenanya”. Kemudian Allah SWT. menjawab, “Sesungguhnya kau tidak akan mampu melakukannya”. Lantas Musa as tersungkur sujud kepada Allah SWT., merendahkan diri di hadapan-Nya. Serta merta Allah SWT. mewahyukan kepadanya, “Wahai putra Imran, sesungguhnya keridhaan-Ku ada pada keridhaanmu terhadap ketentuan-Ku”.
Sungguh “romantis” sekali perbincangan antara seorang manusia mulia dengan Kekasih sejatinya. Ia rela melakukan apapun agar Allah SWT., satu-satunya Dzat yang dicintai, meridhainya. Seorang manusia yang begitu shalih, tutur kata dan akhlaknya tertata, seorang Nabi yang begitu sabar menghadapi tingkah laku ummatnya yang seringkali membangkang, seorang Nabi yang memiliki keteguhan hati, sehingga Allah SWT., Sang Kekasih, memberinya gelar ulil ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati).
Dari cuplikan kisah diatas, kita dapat melihat betapa seorang hamba yang telah sangat dekat kepada Tuhannya ingin diridhai oleh-Nya. Namun ada beberapa hal yang perlu kita teliti, kaji, dan cermati, yakni, apa itu ridha? Bagaimana kita ridha terhadap ketentuan-Nya? Dan bagaimana pula Allah SWT. ridha terhadap kita? Apakah ridha bisa diusahakan atau sebatas kedudukan seorang hamba secara spontanitas dan tidak bisa diusahakan?
Allah SWT. berfirman dalam kitab suci al-Qur’an,
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة, التوبة, المجادلة, البينة)
Allah SWT. meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya
Kalau dalam bahasa santri, kata sambung عن (‘an) memiliki makna lilmujaawazah, untuk melewati. Singkatnya, makna radhiyallaahu ‘anhum pada ayat tersebut adalah “Allah SWT. meridhai mereka, tidak menyiksa mereka” (tarkul muaakhadzah). Allah SWT. melewati mereka dari siksaan (makna sengaja dari melewatkan). Sedangkan maksud dari wa radhuu ‘anhu adalah “mereka ridha pada-Nya, tidak protes terhadap-Nya, terhadap segala ketentuan-Nya” (tarkul i’tiraadh).
Ketika Allah SWT. telah ridha kepada hamba-Nya, maka apapun yang hamba-Nya perbuat akan “dibiarkan” oleh Allah SWT.. Allah SWT. tidak akan menyiksanya. Malaikat penjaga neraka pun tidak merasa tersiksa di neraka karena telah mendapatkan ridha dari Allah SWT., Sang Penguasa. Demikian halnya ketika seorang hamba telah ridha kepada Allah SWT., maka ia tidak akan “protes” atau melawan terhadap apapun yang telah menjadi suratan-Nya di lauh mahfizh sana. Ia akan merasa puas dan menerima pada vonis-Nya.
Untuk mendapat ridha dari Allah SWT. tentu seorang hamba mesti ridha terlebih dahulu terhadap segala ketentuannya, begitulah syariat berkata. Lantas bagaimana memanifestasikan ridha? Dimana pula posisinya dalam diri seorang hamba?
Berbicara tentang ridha, para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukannya dalam hati setiap hamba. Ulama Khurasan  berpandangan bahwa ridha merupakan maqamaat, suatu peringkat yang bisa dicapai dan diusahakan. Jadi sah-sah saja ketika kita mengucapkan “kamu harus ridha!” karena ridha bisa diusahakan. Menurut mereka pula, ridha merupakan titik kulminasi dari tawakkal. Berbeda dengan Ulama Irak. Mereka  berpendapat bahwasannya ridha adalah sebagian dari komponen ahwal, artinya tidak dapat diusahakan melainkan mengejawantah dalam hati seorang hamba dengan sendirinya. Dalam pada itu, kedua pendapat tersebut bisa diintegrasikan menjadi suatu pemahaman bahwa “permulaan ridha bisa diusahakan oleh setiap hamba, dan ini termasuk maqamaat. Adapun puncak dari ridha termasuk posisi ahwal, tidak bisa diusahakan”.
Dalam memanifestasikan ridha, setiap orang memiliki refleksi dan penyerapan yang berbeda-beda lantaran pemahaman mengenai ridha pun beragam adanya. Abu ‘Ali ad-Daqqaq berkata,
ليس الرضاء أن لا تحس بالبلاء, إنما الرضاء أن لا تعترض على الحكم والقضاء
Sungguh indah penuturan tersebut. Menurutnya, ridha bukan berarti tidak merasa akan balai, cobaan, dan ujian. Melainkan ridha berarti tidak protes atau komplain terhadap vonis dan ketentuan Allah SWT.. Jadi, ia berpandangan bahwa seseorang dikatakan ridha ketika ia tidak protes atau komplain terhadap vonis dan ketentuan Allah SWT., meskipun terasa tidak enak. Sakit memang sakit, tetapi tetap menerima terhadap apapun ketentuan-Nya. Senang boleh senang, tapi harus sadar bahwa itu merupakan ketentuan Allah SWT. dan menerima dengan penuh rasa penghambaan. Karena memang hanya milik Allah SWT. lah segala vonis dan ketentuan dan hanya milik Allah SWT. lah segala puji.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyyah yang merefleksikan keridhaannya sampai tidak merasa apapun kecuali kesenangan dan ketenangan. Ini terpancar dari sikap bathin melalui perkataan bijaknya,
سجني خلوة و تغريبي سياحة و قتلي شهادة
Penjaraku adalah menyendiri dengan Tuhan, pengasinganku adalah rekreasi, dan pembunuhanku adalah mati syahid. Saat ia dipenjara, ia memanfaatkan momen tersebut untuk berkhalwat dengan Allah SWT. Kala ia diinternir, ia merasa hanya sedang berekreasi. Begitupun ketika nyawanya terancam dan akan dibunuh, dengan penuh optimistis ia menganggapnya sebagai jalan untuk mati syahid. Perkataannya mengindikasikan bahwa ia merasakan semua hal yang menjadi cobaannya di dunia menjadi nikmat tak terkira. Inilah cara Ibnu Taimiyyah. Tak ada beda antara nikmat dan sengsara, melainkan segalanya terasa nikmat baginya. Dunia ini bak syurga baginya. Sehingga ia berpandangan bahwa seseorang tidak akan merasakan nikmatnya syurga akhirat sebelum merasakan syurga dunia. Lantaran, mengutip perkataan Adnin Armas, pandangan eskatologis adalah inheren dalam benak seorang muslim tatkala melakoni hidup. Dunia tidak dapat diceraikan dari akhirat.
Pandangan terhadap sikap Ibnu Taimiyyah pada dasarnya adalah penyerapan dan refleksi Ibnu Taimiyyah terhadap ridha. Belum dikatakan ridha sebelum segalanya terasa nikmat. Tetapi Abu ‘Ali ad-Daqqaq berbeda. Tidak perlu sampai merasa semuanya nikmat, yang penting tidak protes dan komplain terhadap ketentuan dan vonis Allah SWT. meskipun terasa berat dan menyakitkan.
Masih banyak figur-figur ulama yang menggambarkan keridhaan kepada Allah SWT. dengan redaksi-redaksi yang berbeda. Tetapi, dua contoh manifestasi ridha tersebut dapat memberikan gambaran secara komprehensif bagaimana seorang hamba seharusnya menyikapi hal-hal yang berbeda dari sikap bathin masing-masing hamba. Semuanya tergantung cara masing-masing dalam memanifestasikan ridha kepada Allah SWT.
Perlu diperhatikan bahwa seseorang diwajibkan untuk ridha hanya bagi hal-hal yang memang diwajibkan untuk meridhainya, karena tidak semua ketentuan Allah SWT. boleh atau wajib diridhai oleh seorang hamba. Ada beberapa hal yang mana hamba tidak boleh meridhainya, yakni maksiat dan berbagai bencana kaum muslimin. Maksiat dan bencana apapun merupakan ketentuan Allah SWT., tetapi kita tidak boleh ridha karenanya. Misalnya ketika seseorang berbuat zina, kemudian ia merasa, “ya Allah SWT., aku ridha terhadap ketentuan-Mu yang ini”, itu tidak dibolehkan. Melainkan ketika terjerumus terhadap suatu kemaksiatan atau terjadi bencana terhadap kaum muslimin kita harus merasa bingung dan geram, mengapa hal ini terjadi. Hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang diterima dari Abu Umamah r.a., bahwasannya seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu iman?”. Rasulullah saw menjawab, “Apabila kebaikanmu membuatmu senang dan keburukanmu membuatmu geram, maka kamu adalah seorang yang beriman” (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi). Jadi, cara mendapatkan keridhaan Allah SWT. adalah dengan ridha terhadap segala vonis dan ketentuan-Nya.
Kewajiban ridha terhadap apapun ketentuan Allah SWT., selain yang dilarang untuk ridha, adalah perihal syariat. Artinya jika berhenti di sini, maka perjalanan kita hanya sampai pada ranah syariat, sedangkan untuk sampai pada Allah SWT. kita harus sadar bahwa pada hakikatnya apapun yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Ketika kita “merasa” sudah bisa atau berusaha untuk ridha, sesuai dengan yang telah ditentukan, kita tidak boleh titik sampai di sana. Perjalanan kita harus dilanjutkan pada ranah hakikat. Kita tidak boleh merasa bahwa ridhanya kita adalah hasil dari kemampuan kita, karena kehendak kita, bukan semata rekayasa Allah SWT. Tuhan Semesta.
Pada hakikatnya, Allah SWT. lah yang mengatur segalanya. Karenanya, seorang hamba tidak akan bisa ridha terhadap Allah SWT. sebelum Allah SWT. ridha terlebih dahulu kepadanya. Sebagaimana dalam ayat yang disebutkan sebelumnya, رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ “Allah SWT. ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”. Jadi, pada hakikatnya, ridhanya seorang hamba merupakan indikator dari ridhanya Allah SWT. kepadanya. Sekali lagi, ini merupakan langkah selanjutnya, yakni kesadaran diri bahwa ketika seorang hamba telah bisa atau berusaha ridha, pada hakikatnya Allah SWT. lah yang terlebih dahulu ridha terhadapnya. Dengan demikian hamba tersebut tidak akan menyandarkan diri kepada amalnya termasuk ridha. Karena syariat adalah tuntutan dan larangan, sedangkan hakikat adala sikap bathin dalam menyadari rekayasa Allah SWT. terhadap segala sesuatu. Allah SWT. membuat seorang hamba taat begitupun membuatnya maksiat, inilah hakikat. Tetapi Allah SWT. memerintahkan untuk taat dan melarang maksiat, inilah syariat.
Terakhir, ada sebuah kisah yang dituturkan oleh Abu ‘Ali ad-Daqqaq. Seorang murid bertanya kepada gurunya, “Apakah seorang hamba dapat mengetahui bahwa Allah SWT. ridha kepadanya?” Sang guru menjawab, “Tidak. Bagaimana mungkin ia bisa tahu sedangkan ridha-Nya ghaib (abstrak)?”. “Tapi menurutku bisa saja ia tahu”, sanggah sang murid. “Bagaimana?”, tanya sang guru. Lantas sang murid menjawab, “Manakala aku mendapati hatiku ridha terhadap ketentuan-Nya maka aku pun tahu bahwa sebenarnya Allah SWT. ridha kepadaku”. Sang guru berakta, “Bagus, nak”. Begitupun ketika seorang hamba merasa aral dan tidak ridha terhadap ketentuan Allah SWT., sebenarnya Allah SWT. sedang tidak ridha padanya.
Wallaahu a’lam.


Hanif Rahmat

Santri PPUII
Statistika/FMIPA/UII
Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger