Thursday, December 27, 2012

SYARIAT DAN HAKIKAT*

December 27, 2012

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)

 “7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain8. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
(QS Al-Insyirah [94]: 7-8 )
         Dunia ini penuh dengan keabsurdan kala berbicara tentang syariat dan hakikat. Permasalahan syariat dan hakikat memang begitu pelik. Bagaimana tidak, banyak kalangan masyarakat Muslim keliru dalam memahami istilah syariat dan hakikat. Ada yang memiliki pemahaman bahwa syariat itu merupakan perbuatan manusia, sedangkan hakikat itu merupakan perbuatan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, titik sampai disitu. Dari statement tersebut, timbul pertanyaan bagaimana Allâh mengatur manusia sedangkan manusia itu sendiri yang menciptakan perbuatan mereka, manusia itu sendiri yang memiliki pilihan dalam menentukan alur kehidupannya.
        Berlawanan dengan hal tersebut, paradigma lain yang beredar adalah bahwa jika semuanya sudah ditentukan oleh Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mengapa kita harus capek bekerja dan beribadah? Untuk melerai perbedaan pemahaman seperti itu kiranya menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami syariat dan hakikat.

Syariat
     Imam Abu Al-Qasim al-Qusyairiy berkata bahwa syariat adalah  أمربالتزام العبودية, perintah untuk benar-benar menyanggupi kehambaan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.  Syariat adalah perintah Allâh untuk mengekspresikan kehambaan diri kepad-Nya, yakni sungguh-sungguh berserah diri pada perintah Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ. Tidak ada protes, tidak berpikir panjang dalam pelaksanaannya, dan konsekuen melaksanakan ibadah. Jika Allâh memerintahkan sesuatu maka harus dilaksanakan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu, tidak ada pilihan untuk berpikir menggunakan akal pikiran, begitupun apabila Allâh melarang sesuatu maka harus dihindari. Dengan kata lain, syariat merupakan dogma yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Adapun jika dalam praktiknya menuai berbagai hikmah yang bisa dikaji dengan akal manusia, maka hikmah itu tidaklah menjadi sebab disyariatkannya suatu amal.
      Sebagaimana kita tahu bahwa dalam menjalankan syariat haruslah terdapat dua aspek yang menjadi syarat diterimanya amal, yakni harus murni karena Allâh (ikhlas) dan tatacaranya harus sesuai dengan yang telah ditentukan.

Hakikat
         Abu Al-Qasim al-Qusyairiy menyatakan bahwa hakikat adalah مشاهدة الربوبية, menyaksikan rububiyyah Allâh, bahwa Allâh lah yang Maha Mengatur dan Maha Merekayasa. Arti dari kesaksian disini adalah tatkala kita melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, atau dengan kata lain melaksanakan syariat, kita tetap sadar bahwa kita berada dalam program Allâh. Kita melakukan ini dan melakukan itu hakikatnya adalah rekayasa Allâh, bukan karena kekuatan kita. Kala itu mata hati kita selalu memandang Allâh lah Yang Maha Merekayasa, Allâh lah Yang mengatur segalanya.
Antara Syariat dan Hakikat
           Menurut Hujjatul Islam, Abû Hamid bin Muhammad al-Ghazali, ada tipe orang yang disebut dengan istilah falasifah ilâhî (para filusuf ketuhanan). Orang seperti ini, dalam penuturan Imam Ghazali, hanya mengetahui hikmah dari amal-amal yang diperintahkan namun tidak mengetahui apa akibat dari meninggalkannya. Ia hanya mengetahui hikmah shalat namun tidak mengetahui akibat dari meninggalkan shalat. Ia hanya mengetahui hikmah zakat namun tidak mengetahui akibat dari meninggalkan zakat.
        Dalam kitab al-Munqizh min al-Dhalal, Imam Ghazali membandingkan orang-orang seperti itu dengan perumpamaan yang amat indah. Menurutnya, orang seperti itu tidak lain seperti seorang anak yang diwarisi bangunan oleh ayahnya. Di samping bangunan itu terdapat pepohonan yang rindang. Sang ayah berpesan kepada anaknya untuk tidak pernah sekali-kali menebang pepohonan tersebut. Suatu saat sang anak penasaran mengapa ayahnya tidak boleh menebang pohon tersebut. Lama ia berpikir. Memang, dari pohon tersebut tercium aroma wangi yang semerbak memenuhi seluruh bangunan itu, namun pohon itu membuat bangunannya menjadi gelap karena cahaya yang masuk tertutupi oleh pepohonan tersebut.
          Hingga pada suatu saat sang anak berpikir bahwa mungkin sang ayah melarangnya menebang pohon tersebut supaya bangunan ini tetap wangi. Akhirnya ia memutuskan untuk menebang pepohonan tersebut agar tidak menghalangi cahaya yang masuk dan mengganti aroma wanginya dengan parfum. Keesokan harinya, sang anak mati disengat ular berbisa. Ternyata, pepohonan tersebut selain menebarkan aroma yang wangi juga sebagai penangkal ular berbisa agar tidak menyerang manusia di sekitarnya.
            Falasifah ilâhî, mereka hanya mengetahui hikmah dan manfaat dari shalat yakni –misalnya- untuk mengingat Allâh, sehingga mereka berpikir shalat bisa diganti dengan cukup dzikir saja. Namun, mereka tidak mengetahui fungsi lain dari shalat, yakni sebagai penangkal neraka. Mereka hanya tahu hikmah dan manfaat dari zakat namun tidak tahu menahu akibat dari meninggalkannya. Mereka tidak tahu firman Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, “apa yang menjerumuskan kalian ke neraka saqar?’ Mereka (para penghuni neraka) menjawab, ‘kami tidak termasuk orang yang suka shalat dan kami tidak memberi makan orang-orang miskin”. Mereka luput dari hal yang tidak terjangkau oleh akal mereka. Manusia hanya mempu menangkap hikmah dari amal dengan akal mereka, namun akal mereka tidak dapat menjangkau hal-hal yang di luar itu. Surga dan neraka hanya Allâh yang tahu dan itu tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia. Manusia membutuhkan keimanan untuk menjangkaunya. Dalam hal ini, para falasifah ilahiyhanya melaksanakan hakikat, namun tidak melaksanakan syariat
          Ayat-ayat al-Qur’ân yang menjadi dalil akan kemestian untuk mengintegrasikan antara “beramal sesuai dengan tuntutan syariat” dan “mengakui kebenaran hakikat” banyak sekali, misalnya adalah ayat dalam surat al-Insyirah ayat 7-8 yang berbunyi,“Lantas jika kamu telah selesai (dari urusanmu) maka teruskanlah (pada urusan yang lain). Dan berharaplah hanya kepada Allâh”. Ayat tersebut bermakna bahwa kita harus tetap berusaha, namun jangan titik sampai disana, jangan titik sampai melaksanakan syariat saja sehingga bersandar padanya. Berharaplah hanya kepada Allâh, karena Allâh lah yang mengatur segalanya. Sadar bahwa kita melakukan perbuatan ini dan itu merupakan program Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.
            Kemudian, ketika al-Qur’ân mengisahkan Nabi Ya’qub, Allâh berfirman dalam surat Yusuf ayat 67-68, “dan tatkala Ya’qub berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk dari satu pintu yang sama tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda,namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikit pun daripada (takdir) Allâh. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allâh; kepada-Nya-lah aku bertawakal, dan orang-orang yang (ingin) bertawakkal hendaklah bertawakkal kepada-Nya saja”. Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikit pun dari takdir Allâh, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Yakub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. Sungguh indah kisah tersebut.
       Nabi Ya’qub a.s. melarang anak-anaknya untuk tidak masuk dari pintu yang sama tidak lain hanya karena mengentaskan rasa penasarannya, ia melaksanakan syariat, ia melaksanakan usaha karena memang begitulah kemestiannya. Namun, ia tetap sadar bahwa usaha apapun tidak akan dapat mengubah keputusan Allâh. Perbuatan Nabi Ya’qub a.s. ini dipuji oleh Allâh, “dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan”, namun tatap saja “karena Kami yang telah mengajarkan kepadanya” sehingga tidak ada celah untuk sombong dalam hati karena sadar bahwa Allâh lah yang mengatur segalanya. Namun kebanyakan manusia memang tidak mengetahui kemestian ini.
         Ketika orang tua yang menasihati anaknya, seyogyanya dibarengi dengan keyakinan bahwa ia tidak dapat mendobrak takdir Allâh. Allâh lah yang mengatur segalanya. Jika seorang ayah harus melarang anaknya untuk tidak ngebut ketika mengendarai motor, misalkan, itu hanya sebatas keharusan untuk berusaha menjalankan syariat. Adapun jika anaknya selamat, jangan sampai berkeyakinan “untung kamu nurut” atau “untung tadi ayah melarangmu ngebut”, tapi sadarilah itu adalah ketentuan Allâh, sehingga dengan keyakinan ini sang ayah dan anak dapat bersyukur. Semuanya telah diatur dalam skenario Allâh. Karena jika keyakinan ini tidak ada, maka yang akan terjadi jika sang anak ngebut tapi selamat, atau tidak ngebut tapi malah tabrakan adalah rasa “jengkel” terhadap ketentuan Allâh karena hanya bersandar pada syariat, “tidak berhakikat”.
                Berusaha itu harus karena kita harus beramal sesuai dengan tuntutan syariat, dan ini merupakan perbuatan lahir. Sedangkan tawakkal pun harus karena ini merupakan rasa sadar akan hakikat kebenaran, dan ini merupakan perbuatan bathin. Sebagaimana Rasulullah bersabda ketika seorang sahabat bertanya apakah ia harus membiarkan untanya (tidak diikat) kemudian bertawakkal atau harus bagaimana, “ikatlah unta itu, lalu silakan bertawakkal!”. Dengan kata lain, syariat dan hakikat merupakan dua hal yang berbeda namun keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[]

*Tulisan ini diterbitkan oleh buletin al-Rasikh dan dapat dilihat juga di
 http://alrasikh.uii.ac.id/

KETUHANAN DAN KEHAMBAAN

December 27, 2012


Sejenak kita merenung dan mengintrospeksi mengenai apa yang telah kita lakukan di masa lampau. Apakah setahun yang lalu telah menjadi amal baik, sehari yang lalu kebaikan kita lebih banyak, apakah satu detik yang lalu telah menjadi kebaikan untuk kita, ataukah sebaliknya.
Ketika kita telah menjalani berbagai fase kehidupan, kadang –bahkan seringkali- kita merasa geer, keimanan kita goyah, tergoncang, khawatir, bimbang dan terganggu. Perjalanan hidup ini memang fluktuatif adanya. Tidak akan selamanya berada di bawah, pun di atas.
Dunia ini belum kiamat. Kita hanya baru melampaui satu fase kehidupan. Roda kehidupan akan terus berputar melaju tanpa henti. Begitupun dengan selesainya suatu masalah, tidak berarti berhenti sampai disana. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah melalui dan menjalani kehidupan ini sewajarnya seperti halnya manusia biasa. Tetap bersikap sadar dan ingat bahwa tugas kita tidak berubah. Tidak bertambah dan tidak berkurang, yakni menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Profesi apapun yang kita jalani, hal apapun yang kita lalui, masalah apapun yang kita hadapi, posisi kita sebagai manusia tetap menjadi hamba Allah SWT. yang sejati. Selamanya tidak akan berubah.
Allah SWT. berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Pemahaman dari ayat ini bukan berarti Allah SWT. menciptakan jin dan manusia karena Allah SWT. ingin disembah, melainkan Allah SWT. memberikan tugas kepada jin dan manusia agar menyembah-Nya semata. Jadi jelaslah bahwa penghambaan jin dan manusia kepada Allah SWT. merupakan konsekuensi dari penciptaan. Dengan kata lain, Allah SWT. menciptakan manusia bukan untuk mencari nikmat dunia, bukan untuk mencari tahta, bukan untuk mencari jabatan, dan lain sebagainya. Allah SWT. menciptakan manusia dan jin hanya supaya mereka menyembah-Nya.
Dari ayat tersebut pula kita dapat memahami secara lebih mendalam mengenai esensi kehambaan diri kepada Allah SWT., bahwa yang berhak disembah oleh jin dan manusia hanyalah Allah SWT.. Seakan-akan Allah SWT. berkata melalui ayat itu, “karena Aku yang menciptakan jin dan manusia, maka hanya kepada-Ku lah mereka harus menyembah”. Jika yang menciptakan jin dan manusia adalah Allah SWT., masa yang kita sembah malah uang, pekerjaan, jabatan, syetan, hawa nafsu, keinginan, dan kebencian belaka. Maukah kita jika disebut hamba uang sebagaimana dalam judul lagu Iwan Fals? Ataukah hamba nafsu? Tentu tidak.
Oleh karena itu, niatkanlah setiap amal kita sebagai ajang ibadah kepada Allah SWT. semata. Memang dalam al-Qur’an maupun hadits tidak ada perintah untuk menjadi sopir angkot –misalnya-, namun jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT. untuk mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan ladang usaha yang dapat dilakukan adalah menjadi sopir angkot, maka menjadi sopir angkot itulah yang menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan kepada Allah SWT..
Jadi, apapun yang kita lakukan hendaklah dilandasi dengan niat menghambakan diri kepada Allah SWT.. Baik itu dalam hal sosial, politik, budaya, makan, minum, dan segala hal yang kita lakukan. Dengan kesadaran seperti itu, maka tidak akan ada celah untuk terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT., karena tidak mungkin hal-hal yang dilarang menjadi sarana untuk mengabdi kepada-Nya.
Implementasi Penghambaan
Sikap pengabdian diri kepada Allah SWT. tentu akan menganggap Allah SWT. sebagai satu-satunya Tuhan yang mengatur dan merekayasa semuanya. Namun ketika seseorang merasa dan menganggap dirinya lah yang mengatur kehidupan ini, maka akan terjangkit penyakit sombong dalam dirinya, dan secara tidak langsung ia telah menjadi tuhan kecil dalam kehidupannya.
Kisah menarik tentang Qarun pada zaman Nabi Musa a.s. Ia adalah seorang yang kaya raya. Kunci gudang-gudang kekayaannya dipikul oleh unta-untanya. Ia sangat pintar. Ia adalah penghafal kitab Taurat ketiga setelah Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. Betapa pintar dan kayanya ia. Namun, ia merasa bahwa kekayaan itu ia dapat karena kepintarannya. Yang terbesit di benaknya adalah, “pantas saja aku kaya, kan aku pintar”. Ia telah bersikap arogan dan sombong. Sedangkan kesombongan adalah selendang Allah SWT., hanya milik Allah SWT.. Tidak akan pantas jika seorang hamba memakai selendang Tuhan.
Karena perbuatan yang keji dan sikap yang sombong itulah akhirnya Qarun ditenggelamkan dalam bumi sebagai hukuman di dunia dan dijamin masuk neraka sebagai hukuman di akhirat kelak.
Maka janganlah kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil yang membanggakan apa yang ada pada diri kita dan mengklaim bahwa dengan kekuatan dan kekuasaan kitalah hal itu dapat tercapai.
Selain tidak menjadi tuhan-tuhan kecil, implementasi penghambaan diri kita kepada Allah SWT. ialah dengan tidak menghambakan diri kepada selain Allah SWT.. Tatkala kita melakukan aktivitas apapun yang legal, yakni yang mubah, sunnah, dan wajib, harus dilandasi oleh niat lillaah (untuk Allah SWT.), tidak untuk selain-Nya. Yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, nadzar, dan lain sebagainya, sudah barang tentu harus dilaksanakan, entah itu dengan niat hanya menggugurkan kewajiban, karena takut neraka dan ingin masuk syurga, atau karena kesadaran diri yang mendalam sebagai seorang hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Allah SWT.. Begitupun yang sunnah, hal-hal yang dianjurkan oleh syariat, dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai hamba yang sepatutnya mengabdi kepada Tuhannya. Adapun hal-hal yang mubah, boleh dilakukan dan boleh juga tidak, dijadikan sarana untuk meraih suatu tujuan yang mulia yakni mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Makan dan minum merupakan sesuatu yang mubah. Namun jika makan dan minum itu dimaksudkan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan sehingga dengan sehat kita dapat senantiaasa beribadah kepada Allah SWT., maka makan dan minum itu menjadi sarana untuk mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT.. Karena hal apapun yang mubah selalu dijadikan sarana atau alat untuk meraih tujuan, sehingga esensinya pun sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.
“Barangsiapa mengenal dirinya, tentu ia mengenal Tuhannya”. Barangsiapa menyadari dirinya sebagai hamba, tenti ia menyadari Allah SWT. sebagai Tuhannya. Tuhan bukan tuan. Seorang tuan membutuhkan hambanya untuk membantu membuat makanan, untuk mencuci piring, untuk membersihkan mobil, dan lain sebagainya, sebagai ekspresi pengabdiannya. Namun lain halnya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah membutuhkan hamba untuk mencarikan makan atau harta. Justru Tuhan lah yang memberikan hamba rizki dan kenikmatan. Lantas, bagaimana kita sebagai hamba harus mengekspresikan kehambaan diri kepada Allah SWT. sebagai Tuhan?
Esensi Kehambaan
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. dengan memurnikan ketaatan/niat hanya untuk-Nya dan dengan lurus (sesuai dengan tuntutan)”. Q.S. Al-Bayyinah : 5.
Dari ayat tersebut, setidaknya ada dua aspek yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT., yakni ikhlash (memurnikan pengabdian/penghambaan hanya untuk Allah SWT.) dan hanif (sesuai dengan tuntutan syariat). Ikhlas dalam aspek ini berarti memurnikan niat kita untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT.. Tidak untuk yang lainnya. Shalat kita niatkan murni untuk Allah SWT., bukan untuk dilihat orang. Shadaqah murni untuk Allah SWT., bukan untuk dipuji orang. Bekerja murni untuk Allah SWT., bukan untuk kesenangan dan jabatan.
Aspek kedua yang mendasari kehambaan diri kepada Allah SWT. adalah hanif, yakni tatacaranya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT.. Jika kita shalat dengan niat murni karena Allah SWT. namun tatacaranya tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan, tentu pengabdiannya tidak akan diterima. Begitupun dengan zakat, puasa, dan amal-amal lain yang telah ada ketentuan mengenai tatacaranya.
Dengan mengekspresikan penghambaan diri kepada Tuhan, maka kita telah melaksanakan hakikat tugas sebagai manusia, karena menghambakan diri kepada Allah SWT. merupakan suatu kemestian dan keniscayaan. Begitupun Allah SWT., satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Bagaimana tidak, Dialah yang menciptakan seluruh alam, termasuk manusia. Dengan kata lain, sadarilah bahwa diri ini hanyalah hamba, sehingga akan timbul kesadaran bahwa Allah lah Tuhan Yang Maha Esa.
Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger