Tuesday, April 3, 2012

Dinasti Abbasiyah: Konsep Kekhalifahan

April 03, 2012

DINASTI ABBASIYAH DALAM KONSEP KEKHALIFAHAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Klasik dan Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, MA.,MA.




Disusun oleh:
Hanif Rahmat
M. Arsyad Haikal
Dzulfikar


PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011/2012



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam banyak literatur sejarah, Dinasti Abbasiyah ditulis sebagai dinasti Islam yang paling berhasil dalam sejarah peradaban Islam. Banyak prestasi yang diraih oleh kaum muslim di bawah naungan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini, terutama pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini pula Islam meraih peringkat golden age, masa keemasan.
Dalam pada itu, ada hal yang menarik untuk dibahas dari sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah. Dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mansur yang menggelari dirinya dengan khalifatullah fi ardihi --bukan seperti khalifah-khalifah sebelumnya yang menyandang gelar ”pengganti khalifah”-- maka khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah kemudian bergelar khalifatullah fi ardihi. Dengan gelar khalifatullahi ini, para khalifah Dinasti Abbasiyah tidak memerlukan rakyat, tapi rakyat yang membutuhkan khalifah.
Berangkat dari hal tersebut, kami memberikan judul untuk makalah yang kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran dan Peradaban Klasik ini dengan ”Berdirinya Dinasti Abbasiyah Dalam Konsep Kekhalifahan”.
Adapun agar permasalahan tidak terlalu meluas, kami membatasi permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini dengan dua poin, yaitu mengenai asal usul Dinasti Abbasiyah dan karakteristik serta konsep kekhalifahan pada masa Dinasti Abbasiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.                     Dinasti Abbasiyah
Suatu hari, sekitar 120 H, seorang pria misterius masuk ke dalam kota Merv. Pos terdepan kekaisaran ini terletak hampir seribu lima ratus mil sebelah timur Damaskus. Di sini di alam Timur yang liar, orang asing ini mulai meniupkan kegelisahan terhadap Bani Umayah dengan menyebarkan narasi milenial agama yang berbicara tentang akan datangnya pertikaian apokaliptik antara yang baik dan yang jahat.
Tidak ada yang tahu banyak tentang orang ini, bahkan tentang nama yang sebenarnya. Dia pernah disebut sebagai Abu Muslim, tetapi itu jelas sebuah nama samaran, karena itu adalah singkatan untuk Muslim Abu Muslim ibn Muslim, yang berarti “muslim laki-laki, putra seorang ayah muslim, ayah dari seorang anak laki-laki muslim”. Seperti yang dapat kita lihat, orang ini sedang berusaha keras untuk menegaskan bahwa dirinya memiliki indentitas muslim yang tidak perlu diragukan.
Sebenarnya, Abu Muslim adalah seorang revolusioner profesional yang dikirim ke Merv oleh sebuah kelompok bawah tanah rahasia yang berbasis di Iraq, sebuah kelompok yang disebut Hasyimiyah. Kelompok ini merupakan persilangan antara kultus dan partai politik yang anggota intinya mungkin tidak pernah melebihi tiga puluh. Namanya mengacu pada klan Nabi, Bani Hasyim, dan tujuannya, diduga, adalah untuk menempatkan anggota keluarga Nabi di puncak dunia muslim. Ini hanyalah salah satu dari banyak kelompok kecil anti pemerintahan yang aktif pada saat itu (Bani Umayah), semuanya menyerukan beberapa versi dari pesan yang sama: masyarakat telah keluar dari jalur, sejarah telah meleset dari jalannya, misi Rasul telah dibelokkan, dan menumbangkan Dinasti Umayah serta memberdayakan anggota keluarga Nabi untuk menggantikan mereka akan mengembalikan segalanya ke jalur yang benar lagi.
Sayangnya untuk Hasyimiyah, mereka tidak punya anggota yang benar-benar berasal dari keluarga Nabi untuk dipromosikan. Namun mereka memiliki Abu Al-Abbas, seseorang yang mengaku sebagai keturunan Abbas ibn Abd. Al-Muththalib, salah seorang paman Nabi Muhammad SAW, jadi setidaknya dia paling dekat terkait dengan Nabi melalui hubungan darah dan, yang lebih penting, bersedia meminjamkan namanya kepada perjuangan Hasyimiyah.
Paman leluhur yang dimaksudkan, Abbas yang asli, termasuk di antara orang yang paling akhir memeluk agama Islam, dan pada masanya, cukup tidak menyenangkan, tidak ada seorangpun yang menganggap dia kandidat untuk menggantikan Muhammad SAW, sehingga dia bukanlah leluhur ideal bagi sebuah gerakan revolusioner puritan. Seorang keturunan langsung Ali dan Fathimah pasti akan lebih baik, tapi tidak ada seorangpun Aliyyah -artinya, yang nyata maupun yang diduga keturunan Ali- bersedia bekerja sama dengan Hasyimiyah, jadi Abu Al-Abbas pun cukuplah.
Abu Muslim tidak punya banyak kesulitan untuk memanfaatkan ketidakpuasan Syi’ah dan Persia yang bergolak di Khurasan, provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan. Pada titik-titik kunci dalam pidato-pidatonya, Abu Muslim menjadi sedikit kabur tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah revolusi berhasil. Mereka yang merindukan keturunan Ali dapat membayangkan bahwa sosok seperti itu sedang menunggu di pinggiran, diam tanpa nama untuk saat itu hanya demi alasan keamanan.
Berani, tanpa ampun, dan kharismatik, Abu Muslim dengan cepat meninggalkan perannya sebagai agen dan muncul sebagai pemimpin revolusi Abbasiyah (dinamakan demikian karena pemimpinnya adalah Abu al-Abbas). Di Khurasan, Abu Muslim merekrut kader revolusioner, melatih mereka untuk berperang, dan menjejali mereka dengan doktrin Hasyimiyah. Para pengikutnya bisa dikenali melalui pakaian hitam yang mereka kenakan dan panji hitam yang mereka bawa. Mereka bahkan mengecat hitam senjata mereka. Tentara Umayah, kebetulan mengambil warna putih.
Pada 125 H (747 M), Abu Muslim dan para prajurit berseragam hitamnya mulai bergerak ke barat. Mereka menghadapi perlawanan kecil melewati wilayah Persia, tempat kebanyakan orang sangat ingin membantu menggulingkan Umayah yang sombong. Pada kenyataannya mereka memperoleh anggota baru dan momentum saat mereka berbaris melewatinya.
Pada 750 M, tentara putih dan hitam bentrok di tepi sungai Dzab Besar di Iraq. Meski kalah jumlah, pasukan hitam memukul mundur pasukan kaisar, dan khalifah Umayah terakhir harus lari menyelamatkan nyawa, ke Mesir di selatan; pada tahun yang sama, agen-agen Abbasiyah memburunya ke sana lalu membunuhnya.
Hasyimiyah menyatakan Abbas sebagai khalifah baru Islam. Tidak ada yang benar-benar berkomentar terhadap proses yang baru saja terjadi: itu bukan merupakan akibat tidak terelakkan yang ditentukan oleh Allah, bukan pula hasil pemilihan, atau bahkan sebuah keputusan yang dibuat oleh dewan orang bijak. Tidak, khalifah baru itu ditempatkan di tampuk kekuasaan oleh satu orang dengan sebuah geng pasukan yang terorganisasi tepat. Itu tidak jadi masalah. Kepemimpinan kembali di tempat semestinya pada akhirnya, di tangan anggota keluarga Nabi. Sekarang, akhirnya, proyek sosial Islam dapat kembali ke jalurnya (Tamim Ansary, 2011: 151-154)
Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd. al-Muththalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa untuk melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah.
Saat kekhalifahan Umayah dipegang Umar ibn Abd. Al-Aziz, gerakan bawah tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan secara terbuka. Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan kebijakan “Machiavellian” model Umayah adalah para pengikut Nabi dan keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’atu Ali maupun Syi’atu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya kekhalifahan Abbasiyah. (Karim, 2009: 143)
Berdirinya Bani Abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada Khalifah Hisyam ibn Abd. al-Malik, muncul kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd. al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun:
a. Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim Al-Alman
c. keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari golongan syi’ah dan kaum mawali yang merasa di kelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Pada waktu itu ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran, akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah Dinasti Umayyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu berdirilah kekuasaan dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW,. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. (Yatim, 2008: 49)
Masa Dinasti Abbasiyah merupakan awal kemunduran bagi umat Islam, setelah lebih dari lima abad (132-656 H/750-1258 M) mampu membentuk dan mengembangkan kebudayaan Islam hingga mampu membawa peradaban yang tinggi dan mengalami kejayaan di bawah pemerintahan Daulah Abbasiyah (Munthoha, 2009: 35).

B.                      Karakteristik serta Konsep Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
Seperti halnya Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiyah, terdapat karakter dan cirri khas yang istimewa, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.                       Pemerintahan orang Abbasiyah dinyatakan sebagai Daulah (era baru). Khalifah pertama, Saffah, karena tidak percaya dengan orang-orang Kufah yang pernah berkhianat kepada cucu Nabi SAW, Husein bin Ali, maka ia menggunakan Hammam ‘Ain sebagi tempat tinggal dan ibu kota Abbasiyah, tidak lama kemudian pindah ke Hira, selanjutnya pindah lagi ke gedung Hasyimiyah. Setelah ia wafat, adiknya, al-Mansur membangun kota baru di desa Baghdad. Sejak itu kota tersebut menjadi ibu kota resmi Dinasti Abbasiyah. Dengan demikian peranan dan pengaruh Arab melalui Damaskus (Syam) sebagai pusat pemerintahan Islam berangsur-angsur berkurang dan beralih ke Baghdad yang oleh Bani Umayah sudah dibangun lebih dari seratus tahun (sejak Muawiyah periode Umar I).
2.                       Dengan berdirinya Abbasiyah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan dikuasai/dipengaruhi  mawali, serta diskriminasi Arab atas mawali hilang. Dengan demikian, Islam muncul dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperang untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem pemerintahan Persia.
3.                       Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan non-Arab, sedang jaman Umayah adalah Arab murni yang sangat peka terhadap suku Arab (Quraisy), sedangkan pada periode Abbasiyah di samping orang Quraisy, orang Khurasan, dan dari daerah-daerah lain elit tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sacral dan hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia Islam dan merekalah yang menundukkan kembali Islam dalam posisi yang benar.
4.                       Corak pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.                       Islam tersebar dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang pada masa Abbasiyah satu sisi orang Islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan Islam terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andalusia (756 M) dari kekuasaan Abbasiyah dengan berdirinya (929 M) kekhalifahan Umayah II di Andalusia dan kekhalifahan Fatimiyah (909 M) di Afrika. Puncak kejayaan daulah ini terjadi pada masa Khalifah Harun dan puteranya, Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga masa Mutawakkil. Pada masa Harun, kekayaan negara yang banyak, sebagian besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran, farmasi, dan sebagainya. Sementara pada masa Ma’mun, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, statistika, geografi, dan filsafat. Di samping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqah di dalamnya. Pada masanya, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Karim, 2009: 179-181)





BAB III
KESIMPULAN

1.                       Dinasti Abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H, didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Dinasti Abbasiyah berdiri dengan menghancurkan Dinasti Umayah pada peperangan di Dzab.
2.                       Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman al-khalifahurrasyidun. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur  “Saya adalah sultan Tuhan diatas bumiNya“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a.              para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali,
b.             kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan,
c.              ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia,
d.             kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya, dan
e.              para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Ansary, Tamim. Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman press. 2010.
Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: Pustaka Book Publisher. 2009.
………….  Islam di Asia Tengah. Jogjakarta: Bagaskara press. 2006.
Munthoha. Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: UII Press. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2008. 


Thanks for reading Dinasti Abbasiyah: Konsep Kekhalifahan

Related Posts

Your Comments

No comments:

Post a Comment

Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger