Tuesday, April 3, 2012

Dinasti Abbasiyah: Konsep Kekhalifahan

April 03, 2012

DINASTI ABBASIYAH DALAM KONSEP KEKHALIFAHAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Klasik dan Kontemporer yang diampu oleh Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, MA.,MA.




Disusun oleh:
Hanif Rahmat
M. Arsyad Haikal
Dzulfikar


PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011/2012



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam banyak literatur sejarah, Dinasti Abbasiyah ditulis sebagai dinasti Islam yang paling berhasil dalam sejarah peradaban Islam. Banyak prestasi yang diraih oleh kaum muslim di bawah naungan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini, terutama pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini pula Islam meraih peringkat golden age, masa keemasan.
Dalam pada itu, ada hal yang menarik untuk dibahas dari sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah. Dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mansur yang menggelari dirinya dengan khalifatullah fi ardihi --bukan seperti khalifah-khalifah sebelumnya yang menyandang gelar ”pengganti khalifah”-- maka khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah kemudian bergelar khalifatullah fi ardihi. Dengan gelar khalifatullahi ini, para khalifah Dinasti Abbasiyah tidak memerlukan rakyat, tapi rakyat yang membutuhkan khalifah.
Berangkat dari hal tersebut, kami memberikan judul untuk makalah yang kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran dan Peradaban Klasik ini dengan ”Berdirinya Dinasti Abbasiyah Dalam Konsep Kekhalifahan”.
Adapun agar permasalahan tidak terlalu meluas, kami membatasi permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini dengan dua poin, yaitu mengenai asal usul Dinasti Abbasiyah dan karakteristik serta konsep kekhalifahan pada masa Dinasti Abbasiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.                     Dinasti Abbasiyah
Suatu hari, sekitar 120 H, seorang pria misterius masuk ke dalam kota Merv. Pos terdepan kekaisaran ini terletak hampir seribu lima ratus mil sebelah timur Damaskus. Di sini di alam Timur yang liar, orang asing ini mulai meniupkan kegelisahan terhadap Bani Umayah dengan menyebarkan narasi milenial agama yang berbicara tentang akan datangnya pertikaian apokaliptik antara yang baik dan yang jahat.
Tidak ada yang tahu banyak tentang orang ini, bahkan tentang nama yang sebenarnya. Dia pernah disebut sebagai Abu Muslim, tetapi itu jelas sebuah nama samaran, karena itu adalah singkatan untuk Muslim Abu Muslim ibn Muslim, yang berarti “muslim laki-laki, putra seorang ayah muslim, ayah dari seorang anak laki-laki muslim”. Seperti yang dapat kita lihat, orang ini sedang berusaha keras untuk menegaskan bahwa dirinya memiliki indentitas muslim yang tidak perlu diragukan.
Sebenarnya, Abu Muslim adalah seorang revolusioner profesional yang dikirim ke Merv oleh sebuah kelompok bawah tanah rahasia yang berbasis di Iraq, sebuah kelompok yang disebut Hasyimiyah. Kelompok ini merupakan persilangan antara kultus dan partai politik yang anggota intinya mungkin tidak pernah melebihi tiga puluh. Namanya mengacu pada klan Nabi, Bani Hasyim, dan tujuannya, diduga, adalah untuk menempatkan anggota keluarga Nabi di puncak dunia muslim. Ini hanyalah salah satu dari banyak kelompok kecil anti pemerintahan yang aktif pada saat itu (Bani Umayah), semuanya menyerukan beberapa versi dari pesan yang sama: masyarakat telah keluar dari jalur, sejarah telah meleset dari jalannya, misi Rasul telah dibelokkan, dan menumbangkan Dinasti Umayah serta memberdayakan anggota keluarga Nabi untuk menggantikan mereka akan mengembalikan segalanya ke jalur yang benar lagi.
Sayangnya untuk Hasyimiyah, mereka tidak punya anggota yang benar-benar berasal dari keluarga Nabi untuk dipromosikan. Namun mereka memiliki Abu Al-Abbas, seseorang yang mengaku sebagai keturunan Abbas ibn Abd. Al-Muththalib, salah seorang paman Nabi Muhammad SAW, jadi setidaknya dia paling dekat terkait dengan Nabi melalui hubungan darah dan, yang lebih penting, bersedia meminjamkan namanya kepada perjuangan Hasyimiyah.
Paman leluhur yang dimaksudkan, Abbas yang asli, termasuk di antara orang yang paling akhir memeluk agama Islam, dan pada masanya, cukup tidak menyenangkan, tidak ada seorangpun yang menganggap dia kandidat untuk menggantikan Muhammad SAW, sehingga dia bukanlah leluhur ideal bagi sebuah gerakan revolusioner puritan. Seorang keturunan langsung Ali dan Fathimah pasti akan lebih baik, tapi tidak ada seorangpun Aliyyah -artinya, yang nyata maupun yang diduga keturunan Ali- bersedia bekerja sama dengan Hasyimiyah, jadi Abu Al-Abbas pun cukuplah.
Abu Muslim tidak punya banyak kesulitan untuk memanfaatkan ketidakpuasan Syi’ah dan Persia yang bergolak di Khurasan, provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan. Pada titik-titik kunci dalam pidato-pidatonya, Abu Muslim menjadi sedikit kabur tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah revolusi berhasil. Mereka yang merindukan keturunan Ali dapat membayangkan bahwa sosok seperti itu sedang menunggu di pinggiran, diam tanpa nama untuk saat itu hanya demi alasan keamanan.
Berani, tanpa ampun, dan kharismatik, Abu Muslim dengan cepat meninggalkan perannya sebagai agen dan muncul sebagai pemimpin revolusi Abbasiyah (dinamakan demikian karena pemimpinnya adalah Abu al-Abbas). Di Khurasan, Abu Muslim merekrut kader revolusioner, melatih mereka untuk berperang, dan menjejali mereka dengan doktrin Hasyimiyah. Para pengikutnya bisa dikenali melalui pakaian hitam yang mereka kenakan dan panji hitam yang mereka bawa. Mereka bahkan mengecat hitam senjata mereka. Tentara Umayah, kebetulan mengambil warna putih.
Pada 125 H (747 M), Abu Muslim dan para prajurit berseragam hitamnya mulai bergerak ke barat. Mereka menghadapi perlawanan kecil melewati wilayah Persia, tempat kebanyakan orang sangat ingin membantu menggulingkan Umayah yang sombong. Pada kenyataannya mereka memperoleh anggota baru dan momentum saat mereka berbaris melewatinya.
Pada 750 M, tentara putih dan hitam bentrok di tepi sungai Dzab Besar di Iraq. Meski kalah jumlah, pasukan hitam memukul mundur pasukan kaisar, dan khalifah Umayah terakhir harus lari menyelamatkan nyawa, ke Mesir di selatan; pada tahun yang sama, agen-agen Abbasiyah memburunya ke sana lalu membunuhnya.
Hasyimiyah menyatakan Abbas sebagai khalifah baru Islam. Tidak ada yang benar-benar berkomentar terhadap proses yang baru saja terjadi: itu bukan merupakan akibat tidak terelakkan yang ditentukan oleh Allah, bukan pula hasil pemilihan, atau bahkan sebuah keputusan yang dibuat oleh dewan orang bijak. Tidak, khalifah baru itu ditempatkan di tampuk kekuasaan oleh satu orang dengan sebuah geng pasukan yang terorganisasi tepat. Itu tidak jadi masalah. Kepemimpinan kembali di tempat semestinya pada akhirnya, di tangan anggota keluarga Nabi. Sekarang, akhirnya, proyek sosial Islam dapat kembali ke jalurnya (Tamim Ansary, 2011: 151-154)
Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd. al-Muththalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa untuk melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah.
Saat kekhalifahan Umayah dipegang Umar ibn Abd. Al-Aziz, gerakan bawah tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan secara terbuka. Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan kebijakan “Machiavellian” model Umayah adalah para pengikut Nabi dan keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’atu Ali maupun Syi’atu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya kekhalifahan Abbasiyah. (Karim, 2009: 143)
Berdirinya Bani Abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada Khalifah Hisyam ibn Abd. al-Malik, muncul kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd. al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun:
a. Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim Al-Alman
c. keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari golongan syi’ah dan kaum mawali yang merasa di kelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Pada waktu itu ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran, akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah Dinasti Umayyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu berdirilah kekuasaan dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW,. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. (Yatim, 2008: 49)
Masa Dinasti Abbasiyah merupakan awal kemunduran bagi umat Islam, setelah lebih dari lima abad (132-656 H/750-1258 M) mampu membentuk dan mengembangkan kebudayaan Islam hingga mampu membawa peradaban yang tinggi dan mengalami kejayaan di bawah pemerintahan Daulah Abbasiyah (Munthoha, 2009: 35).

B.                      Karakteristik serta Konsep Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
Seperti halnya Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiyah, terdapat karakter dan cirri khas yang istimewa, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.                       Pemerintahan orang Abbasiyah dinyatakan sebagai Daulah (era baru). Khalifah pertama, Saffah, karena tidak percaya dengan orang-orang Kufah yang pernah berkhianat kepada cucu Nabi SAW, Husein bin Ali, maka ia menggunakan Hammam ‘Ain sebagi tempat tinggal dan ibu kota Abbasiyah, tidak lama kemudian pindah ke Hira, selanjutnya pindah lagi ke gedung Hasyimiyah. Setelah ia wafat, adiknya, al-Mansur membangun kota baru di desa Baghdad. Sejak itu kota tersebut menjadi ibu kota resmi Dinasti Abbasiyah. Dengan demikian peranan dan pengaruh Arab melalui Damaskus (Syam) sebagai pusat pemerintahan Islam berangsur-angsur berkurang dan beralih ke Baghdad yang oleh Bani Umayah sudah dibangun lebih dari seratus tahun (sejak Muawiyah periode Umar I).
2.                       Dengan berdirinya Abbasiyah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan dikuasai/dipengaruhi  mawali, serta diskriminasi Arab atas mawali hilang. Dengan demikian, Islam muncul dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperang untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem pemerintahan Persia.
3.                       Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan non-Arab, sedang jaman Umayah adalah Arab murni yang sangat peka terhadap suku Arab (Quraisy), sedangkan pada periode Abbasiyah di samping orang Quraisy, orang Khurasan, dan dari daerah-daerah lain elit tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sacral dan hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia Islam dan merekalah yang menundukkan kembali Islam dalam posisi yang benar.
4.                       Corak pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.                       Islam tersebar dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang pada masa Abbasiyah satu sisi orang Islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan Islam terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andalusia (756 M) dari kekuasaan Abbasiyah dengan berdirinya (929 M) kekhalifahan Umayah II di Andalusia dan kekhalifahan Fatimiyah (909 M) di Afrika. Puncak kejayaan daulah ini terjadi pada masa Khalifah Harun dan puteranya, Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga masa Mutawakkil. Pada masa Harun, kekayaan negara yang banyak, sebagian besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran, farmasi, dan sebagainya. Sementara pada masa Ma’mun, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, statistika, geografi, dan filsafat. Di samping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqah di dalamnya. Pada masanya, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Karim, 2009: 179-181)





BAB III
KESIMPULAN

1.                       Dinasti Abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H, didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Dinasti Abbasiyah berdiri dengan menghancurkan Dinasti Umayah pada peperangan di Dzab.
2.                       Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman al-khalifahurrasyidun. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur  “Saya adalah sultan Tuhan diatas bumiNya“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a.              para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali,
b.             kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan,
c.              ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia,
d.             kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya, dan
e.              para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Ansary, Tamim. Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman press. 2010.
Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: Pustaka Book Publisher. 2009.
………….  Islam di Asia Tengah. Jogjakarta: Bagaskara press. 2006.
Munthoha. Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: UII Press. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2008. 


Dinasti Mughal di India

April 03, 2012
DINASTI MUGHAL DI INDIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam Modern yang diampu oleh Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, MA.,MA.




















Disusun oleh:
Hanif Rahmat
11611101



PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2012/2013



BAB I
PENDAHULUAN
India yang pada masa lalu meliputi negara India, Pakistan, dan Bangladesh pada masa sekarang selalu menarik dikaji. Ketiga negara ini memiliki kesinambungan sejarah yang satu hingga masa kolonialisme Barat. Secara geografis India terpisah oleh benteng alam pegunungan Himalaya di sebelah utara dan Hindu Kusy di sebelah Barat Laut. Pegunungan Himalaya merupakan benteng terpanjang yang membujur dari Afghanistan hingga Assam sejauh 2.500 km (Abu S’ud, 1988: 10). Kondisi geografis inilah sebagai salah satu penyebab sulitnya pengaruh luar masuk ke India. Walaupun begitu, berbagai bangsa silih berganti masuk ke daerah India dan memberikan warna perkembangan kebudayaan India terutama melalui celah Khyber yang menghubungkan dengan Afghanistan dan lintas Bolan yang di Pakistan. Setidaknya di India telah lahir 4 agama dunia yakni Hindu, Buddha, Jain, dan Sikh. Selain keempat tersebut, warna sejarah India juga dipengaruhi oleh pengaruh Islam yang berkembang pesat sejak pertengahan abad VII M dari jazirah Asia Barat.
Sejak awal abad XIII sampai dengan pertengahan XIX dinasti Islam berkembang di India. Masa pengaruh politik Islam telah dimulai sejak awal abad VIII ketika Muhammad bin al-Qasim diutus Khalifah al-Walid I menyerbu daerah Sind mulai tahun 708 M (Karim, 2003: 12). Walaupun belum menguasai seluruh India, Qasim telah berhasil menancapkan pengaruh politik Islam di daerah Punjab. Sejak masa itu politik Islam terus merangsek di India. Dinasti Ghazni yang berkembang sejak tahun 961 M berpusat di Afghanistan menjadi kekuatan politik kedua yang berpengaruh di India, dan dinasti Ghuri adalah pengaruh politik ketiga dalam sejarah kerajaan Islam di India. Akhir Dinasti Ghuri menandai mulainya kekaisaran Islam di India ditandai dengan berdirinya Kesultanan Delhi oleh Qutbuddin Aybak (1206-1211). Sejak saat itulah dinasti Islam berkembang di India sampai dengan tahun 1857.
Mengkaji kekuasaan para dinasti Islam di India sangat menarik, selain kekhasan sifat politik para dinasti Islam di India, juga akan ditemukan berbagai peninggalan kebudayaan yang luar biasa tinggi. Ada lima dinasti Islam yang berkuasa di India mulai tahun 1206-1857 M. Kelima Dinasti yang memerintah tersebut adalah Dinasti Budak (1206-1290), Dinasti Khilji (1290 – 1321), Dinasti Taghluk (1321 – 1388 ), Dinasti Lodhi (1450 – 1526), dan Dinasti Mughal (1526 – 1857). Berbagai peninggalan baik kebudayaan, sistem sosial, ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan masih dapat ditelusuri pada masa sekarang. Dinasti Mughal adalah dinasti terakhir yang memerintah di India.













BAB II
PEMBAHASAN
DINASTI MUGHAL DI INDIA
A.      Munculnya Dinasti Mughal
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, diantara ketiga kerajaan besar Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah Al-Walid, dari dinasti Bani Umayah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh terntara Bani Umayah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim. Pada fase disintegrasi, Dinasti Ghazni mengembangkan kekuasaannya di India di bawah pimpinan Sultan Mahmud dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan hamper semua kerajaan Hindu di wilayah ini, sekalugus mengislamkan sebagian masyarakatnya. Setelah Dinasti Ghazni hancur, muncul dinasti-dinasti kecil seperti Mamluk (1206-1290 M), Khalji (1296-1316 M), Tughluq (1320-1412 M), dan dinasti-dinasti lain (Yatim, 2008: 147).
Peletak dasar dinasti Islam di India adalah Qutbuddin Aybak (1206-1211), yang berhasil mendirikan kerajaan Islam di India yang merdeka. Setelah merasa cukup kuat untuk mendirikan kekuasaan di India, pada tahun 1206 ia mendirikan Kesultanan Delhi di India yang berhasil dipertahankan hingga 1290. Dinasti keturunan Aibak sering disebut dinasti keturunan hamba-hamba raja, karena Aibak sendiri bukanlah keturunan raja. Sultan Balban adalah raja terakhir dinasti keturunan hamba-hamba raja. Dia tidak meninggalkan keturunan dan pemerintahan Kesultanan Delhi selanjutnya diambil alih oleh dinasti raja-raja keturunan Khilji (1290-1321), kemudian dilanjutkan raja-raja keturunan Tughluq (1321-1421), dinasti para Sayid (1414-1451), dan dinasti raja-raja keturunan Lodhi (1451-1526), kemudian yang terakhir adalah Dinasti Mughal.
Kerajaan Mughal merupakan kerajaan terakhir di India, tepatnya adalah setelah dinasti Lodhi jatuh, hingga berganti dengan pemerintahan imperialism Inggris memerintah di sana (Nurhakim, 2004: 147). Pendiri kerajaan ini adalah Zaharuddin Muhammad, dikenal dengan Babur yang berarti singa. Ia putera Umar Syaikh seorang penguasa di negeri Farganah (Asia Tengah) keturunan langsung dari Miransah, putera keriga dari Timur Leng, sementara itu ibunya merupakan keturunan Chagtai putera Chengis. Pada saat ayanya Umar Syaikh Mirza meninggal dunia pada Juni 1494 M, Babur yang ketika itu baru berumur 11 tahun angsung diangkat sebagai penguasa Farghana (Karim, 2012: 315). Ia berambisi dan bertekad akan menaklukkan Samarkand yang menajadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Pada mulanya, ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat banatuan dari Raja Safawi, Ismail I akhirnya berhasil menaklukkan Samarkand tahun 1494 M. pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul, ibukota Afghanistan (Yatim, 2008: 147).
Pada 151525 M, Babur meneruskan perjalanan menuju Punjab, dan dalam pertempuran tersebut, Punjab pun dapat ditaklukkannya. Kesempatan baik bagi Babur untuk mengadakan serangan ke Delhi, di mana pada waktu itu Sultan Ibrahim Lodi sedang berselisih dengan pamannya, Alam. Pada 21 April 1526 M, terjadilah peperangan yang dahsyat di Panipat, Sultan Ibrahim dengan gigih mempertahankan negeri bersama 100.000 orang tentara dan 1000 kendaraan gajah. Namun, Babur mampu memenangkan pertempuran karena ia menggunakan senjata api berupa meriam, dan akhirnya Sultan Ibrahim Lodi gugur bersama 20.000 tentara pasukannya. Denagn telah ditaklukkannya Sultan Ibrahim, maka terbukalah kesempatan bagi Babur untuk mendirikan kerajaan Mughal di India. Selain itu anaknya yang bernama Humayun disuruh pula untuk menaklukkan kota terbesar kedua di India yaitu Agra, serta kota-kota penting lainnya. Pada kesempatan lain, Babur juga menaklukkan kerajaan-kerajaan yang terdapat di benua India, termasuk pula kerajaan-kerajaan Hindu. Di bawah pimpinan Amir Mahmud beserta 100.000 pasukan Islam memorak-porandakan pasukan Hindu di Khanwa. Raja dari pasukan Hindu, Rana Sangga, mati terbunuh dalam peristiwa yang terjadi pada 1527 M teraebut.
Babur hanya dapat menikmati usahanya merintis kerajaan Mughal selama 5 tahun. Setelah wafat (1530 M), maka pemerintahan diteruskan oleh puteranya yang bernama Humayun. Ia juga menghiasi selama kepemimpinannya dengan peperangan. Salah satunya terjadi pada 1535 M di Baskar dekat Banaras melawan pasukan Sher Khan. Humayun kalah dalam pertempuran tersebut. Pada peperangan yang kedua, kekalahan serupa dialami  oleh Humayun, sehingga harta rampasan perang diukuasai oleh Sher Khan, pasukan yang telah tewas dibuang ke sungai. Humayun melarikan diri, dalam pengembaraannya ia sempat kawin dengan Putri Hamidah Banu Begum dan Thamasp untuk meminta bantuan. Setelah disetujui ia pun berhasil menaklukkan Kandahar di Kabul.
Sementara itu Sher Khan wafat (1545 M), anak-anaknya tidak dapat memelihara pusaka kerajaan yang telah diwariskan. Mereka saling berebut keuasaan sehingga kekuatan Negara menjadi pecah. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Humayun untuk merebut kembali kekuasaan yang pernah diraihnya. Oleh karena itu, pada November 1555 M Lahore dapat ditaklukkan. Ia pun melanjutkan perjalanan menuju Delhi. Di tengah jalan, ia dihadang oleh pasukan Iskandar Shah. Akan tetapi, Humayun dan psukannya dapat melewati, dan Delhi pun dapat direbut kembali. Namun tidak berselang cukup lama ia wafat, tepatnya pada 24 Januari 1556.
Sepeninggal Humayun, puteranya Muhammad diangkat menjadi raja dengan gelar Abu Fath Jalaluddin dan gelar yang paling terkenal adalah Sultan Akbar Agung (Karim, 2012: 315-316). Pada waktu itu ia masih berumur 14 tahun. Karena ia masih muda maka urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan, seorang Syi’i. Pada masa Akbar inilah kerajaan Mughal mencapai masa keemasannya.
Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-siaasa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gualior dan Agra. Pasukan pemberontak itu berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut, sehingga terjadilah pepernagan yang dahsyat, yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan. Ia ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa ia berusaha mneyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Dalam pemerintahan militeristik tersebut, sultan adalah penguasa diktator, pemerintah daerah dipegang oleh seorang sipah salar (kepala komandan), sedang subdistrik dipegang oleh faujdar (komandan). Jabatan-jabatan sipil juga diberi jenjang kepangkatan yang bercorak kemiliteran. Pejabat-pejabat itu memang diharuskan mengikuti latihan kemiliteran.
Akbar juga menerapkan apa yang dinamakan dengan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama (Yatim, 2008: 148-149).
Setelah sultan Akbar wafat, ia dugantikan oleh puteranya, Sultan Salim yang digelari dengan Jehanggir. Jehanggir dijuluki sebagai raja pelukis karena karya-karyanya yang bagus dan luar biasa.
Jehanggir dinikahkan dengan puteri Persia, Mehruun Nisa, setelah menjadi permaisuri deiberi gelar Nurjahan. Karena kecintaannya kepada permaisurinya, ia terlena. Sang istri mulai ikut campur dalam urusan kenegaraan, akibatnya kewibawaan dari Sulatan Salim mulai luntur. Terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh puteranya sendiri yang bernama Khurram. Ia dipenjarakan sampai menemui ajalnya. Prestasi lain yang dimilikinya adalah penerapan bahasa Urdu sebagai salah satu bahasa resmi negara sebagai akomodasi dari berbagai bahasa yang ada termasuk Sansekerta dan Prakrit (bahasa sehari-hari bagi masyarakat umum). Selain itu juga bahasa Turki (kalangan Istana), bahasa Persi (pejabat kantor), dan Bahasa Arab (kalangan agamawan).
Setelah Jehanggir wafat, kerajaan diperebutkan puteranya, yaitu Shah Jahan dan Asaf Khan. Perselisihan tersebut akhirnya dapat dimenangi oleh Shah Jahan, yang kemudian digelari (1628 M) Abul Muzhaffar Shihabuddin Muhammad Sahib Qiran-e Sani Shah Padsan Ghazi. Sementara saudaranya ditangkap dan dipenjarakan, kemudian matanya dibutakan. Pada waktu itu, ia menjadi raja, Shah Jahan telah menikah dengan Mumtaz Mahal, dan dari perkawinannya tersebut dikaruniai enam anak, 2 laki-laki dan 4 perempuan.
Dengan bantuan puteranya, Aurangzeb, ia berhasil menaklukkan Galkond, Bidar, dan Baijapur. Namun, pada akhirnya di antara putera-puteranya terjadi perselisihan untuk menggantikan kedudukannya. Aurangzeb dapat mengalahkan saudaranya, dan membujuk ayahnya supaya diizinkan masuk istananya dengan membawa bala tentara serta berjanji tidak akan mengganggu kedudukan ayahnya. Namun, tidak dinyana Aurangzeb mengingkari janjinya tersebut. Ia memenjarakan ayahnya, sebagaimana Shah Jahan memenjarakan Jehanggir.
Pada masa pemerintahannya, Shah Jahan meninggalkan hasil kebudayaan berarsitek tinggi, yaitu Taj Mahal, yang ia pernah persembahkan bagi permaisurinya yang telah meninggal. Di sana pula ia akhirnya dimakamkan oleh puteranya, Aurangzeb setelah ia meninggal.
Aurangzeb dinilai berhasil dalam menjalankan pemerintahan, ia memberikan corak keislaman di tengah-tengah masyarakat Hindu. Aurangzeb mengajak rakyatnya untuk masuk Islam, ia menyuruh arca-arca Hindu ditanam di bawah jalan-jalan menuju mesjid agar orang Islam setiap harinya menginjak arca-arca tersebut. Kebijakan Aurangzeb itu banyak menuai kritik dari kalangan Hindu, di antaranya adalah kerajaan Rajput yang semula mendukung kerajaan Mughal kemudian menentangnya. Tindakan yang sewenang-wenang itu pula yang pada akhirnya membawa kerajaan Mughal mengalami masa kemunduran (Karim, 2012: 317-318).
B.       Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Mughal
Setiap kerajaan tentu memiliki berbagai kemajuan yang selalu tertoreh melalui pena-pena para sejarawan dunia. Diantara perkembangan dan kemajuan yang diraih Dinasti Mughal adalah kemantapan stabilitas poitik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar. Hal ini membawa kemajuan dalam bidang-bidang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor pertanian ini, komunikasi antara pemerintah dan petani diatur dengan baik. Pengaturan itu didasarkan atas lahan pertanian. Deh, merupakan unit lahan pertanian terkecil. Beberapa deh  tergabung dalam pargana (desa). Komunitas petani dipimpin oleh seorang muqaddam. Melalui para muqaddam itulah pemerintah berhubungan dengan petani. Kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian di negeri itu. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.
Di samping unutuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi, Jehanggir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia mauun merbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung peasan kebijakan jiwa manusia. Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figur pemimpinnya.
Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan mesjid-mesjid yang indah. Pada masa Syah Jehan, sibangun mesjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Mesjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.


C.      Runtuhnya Dinasti Mughal
Dari masa panjang sekitar tiga setengah abad Mughal berkuasa, tetapi masa perkembangan dan masa kejayaannya hanya dapat dipertahankan sekitar satu abad, yaitu sampai dengan masa Aurangzeb (1658-1708 M). Setelah masa Aurangzeb, Mughal mengalami kemunduran secara berangsur-angsur dalam waktu sekitar kurang sedikit dari dua setengah abad. Di masa Sultan Bahadur Syah, Mughal mengalami kejatuhannya yaitu ketika sultan terakhir, Bahadur Syah diusir dari istana.
Banyak faktor penyebab kemunduran dan kehancurannya, antara lain sebagai berikut.
Pertama, perebutan kekuasaan antara keluarga. Hampir semua keturunan Babur umumnya memiliki watak yang keras dan ambisius, sebagai keturunan Timur Lenk yang mempunyai watak yang demikian. Ketika Jehanggir menggantikan saudaranya, Khusraw, menentangnya karena ia sendiri berambisi untuk menggantikannya. Ketika Syah Jihan naik tahta menggantikan Jehanggir, ia mendapat tantangan dari ibu tirinya, Nurjahan, yang menginginkan anak laki-lakinya, Khurram, menggantikan Jehanggir. Menjelang kematian Syah Jihan, maka anak-anaknya, Aurangzeb, Dara Siqah, Shujah, dan Murad Bakhs, berebut kekuasaan hingga berlarut-larut dalam perang saudara.
Kedua, pemberontakan oleh umat Hindu. Umat Hindu yang mayoritas, dan umat Islam yang minoritas, tetapi yang terakhir ini berkuasa, menimbulkan ketidaksenangan sebagian garis keras orang-orang Hindu kepada pemerintahan Islam. Apalagi, pendekatan masuknya Islam di sana lebih mengutamakan jalur politik daripada jalur dakwah kultural, maka pemberontakan demi pemberontakan dari pihak Hindu tidak dapat dielakkan. Pemberontakan orang-orang Hindu yang dipimpin oleh Hemu di Delhi dan Agra, tetapi dapat dipadamkan oleh Akbar I. Di masa Aurangzeb terjadi pemberontakan Sikh dipimpin oleh guru Tegh Bahadur. Pemebrontakan di Panipat dipimpin oleh Raja Udaipar. Gerakan-gerakan yang lain masih sangat banyak.
Ketiga, serangan dari kerajaan atau kekuatan luar. Serangan pihak luar semula dilakukan oleh kerajaan Safawi di Persia, kemudian serangan dari Afganistan. Pangkal perselisihan antara Mughal dan Safawi karena perebutan daerah Kandahar. Pada 1739 M, Nadir Syah dari Safawi menyerbu Mughal dengan dalih bahwa Mughal tidak mau menerima duta yang dikirimnya. Pada pemerintahan Muhammad Syah, Mughal mendapatkan serangan dari utara yang dipimpin oleh Ahmad Syah dari Afghan. Pada 1748 M, Ahmad Syah berhasil menguasai Lahore.
Keempat, kelemahan ekonomi. Kemunduran politik Mughal sangat menguntungkan bangsa-bangsa Barat untuk menguasai jalur perdagangan. Akhirnya terjadilah persaingan dagang di pantai selatan India dan Inggris, Portugis, Belanda, dan Prancis, yang dimenangkan oleh Inggris. Inggris kemudian berusaha memperkuat kekuasaannya dengan membuat Perserikatan Dagang India Timur atau The East India Company (EIC). Untuk menjaga stabilitas EIC, Inggris pun mendatangkan pasukan pengaman. Ambisi Inggris untuk memonopoli perdagangan di India melahirkan bentrokan dengan Mughal yang mengakibatkan peperangan  peperangan yang berlarut-larut. Menyadari kekuatan Mughal yang semakin menurun, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh, Bengal, dan Orida kepada Inggris. Sejak itu turut campur Inggris dalam perkembangan politik di India semakin dalam.
Selanjutnya kejatuhan Mughal sebetulnya diawali dari konflik laten kekuasaan Islam dengan Hindu. Diperkuat dengan penguasaan Inggris kepada Mughal sehingga keberadaan para sultan sangat bergantung kepada Inggris. Dalam kondisinya yang lemah seperti digambarkan di atas, datanglah pasukan Hindu yang diperkuat gerakan Mujahidin melakukan serangan mendadak kepada kekuatan Inggris di Meerut, 60 km sebelah utara Delhi yang berakhir dengan mengangkat Bahadur Syah menjadi sultan. Meskipun orang-orang Hindu yang memulai serangan, tetapi Inggris melihat keterlibatan umat Islam dan Sultan Bahadur Syah di dalamnya. Sebagai hukuman kepada mereka, Inggris mengusir penduduk Delhi dan menghancurkan sejumlah rumah ibadah, serta memporakporandakan gedung-gedung Mughal. Bahadur sendiri diusir dari istana pada 1858 M, maka peristiwa ini telah menandai kejatuhan Mughal di bawah imperialis Inggris (Nurhakim, 2004: 151-152).


BAB III
KESIMPULAN
Kerajaan Mughal adalah salah satu dari tiga kerajaan besar di masa periode pertengahan yakni Turki Utsmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. Kerajaan Mughal berpusat di India dengan ibukota pemerintahan di Delhi. Kerajaan ini tidak sebesar kakhilafahan Turki Utsmani, tetapi ia dapat bertahan selama kurang dari tiga setengah abad, dan berhasil menguasai wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Hindu, sementara umat Islam minoritas.
Mughal bukanlah kerajaan Islam di India yang pertama. Tetapi sebelumnya telah ada beberapa kerajaan dan upaya memperjuangkan Islam disana. Dimulai dari pejuang muslim, Muhammad ibn Qasim di masa khalifah al-Walid dari Bani Umayyah di Damaskus. Kemudian dating dinasti-dinasti Ghazni (977-1186 M), Khalji (1296-1316 M), Thugluq (1320-1412 M), Sayyid (1414-1451 M), dan dinasti Lodhi (1451-1526 M). jadi, Mughal kerajaan Islam terakhir di India, tepatnya setelah dinasti Lodhi jatuh, hinga berganti dengan pemerintahan imperialisme Inggris memerintah disana.


DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafies Production, 2003.
_______. Sejarah dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara Yogyakarta, 2012.
Nurhakim, Mohammad. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.



Copyright © KESAKSIAN. All rights reserved. Template by CB Blogger